Jumat, 21 Agustus 2015

Bakar


Rizki : Sudahlah sayang, tak perlu sibuk ketakutan pada api.
Dina  : Bagaimana tidak? api itu kian besar melahap yang ia bisa!
Rizki : Saat tak ada yang tersisa, api itu akan mati kebingungan, hilang perlahan.
Dina  : Dan itulah kau.

bukankah benar saat rasa itu membara nanti ia akan hilang juga
perlahan menguap dan dilupakan oleh asapnya

Pesona Singa Mengembik

Sebuah Kisah Titik Balik Muhammad Imam Nawawi Syujai
PROLOG
            Ada sebuah fabel menarik tentang singa. Fabel ini saya dapatkan dari kisah-kisah kreatif yang saya baca. Tak perlu memutar pikiran terlalu keras sebab cerpen ini cukup mudah dicerna. Semua cerita saya tulis ulang karena saya lupa dari mana hasil bacanya. Mungkin ini akan menjadi gaya lain dalam penceritaan titik balik hidup.
            Di sebuah pedalaman hutan tropis terdapat seekor bayi singa yang terlelap disamping tubuh induk singa yang telah mati ditembak oleh seorang pemburu. Di balik semak-semak seekor kambing menyaksikan kejadian itu dan merasa iba terhadap bayi singa. Setelah lama mempertimbangkan akhirnya induk kambing memutuskan untuk mengadopsinya, dihidupkan bersama seekor anak kandungnya.
            Waktu lama berlalu, sang singa hidup layaknya kambing hutan, lincah. Singa benar-benar hidup, makan, dan berkomunikasi layaknya seekor kambing, bahkan ia mengembik layaknya kambing. Hingga pada suatu hari kelompok kambing ini diserang oleh seorang serigala, semua kambing panik termasuk anak singa. Serigala berhasil menangkap anak kandung induk kambing dan siap menerkamnya. Kepanikan ini membuat induk kambing menyuruh singa untuk menyerang balik dan menyelamatkan anak kandungnya, namun singa ketakutan seperti kambing. Setelah suasana semakin mencengkam akhirnya singa memberanikan diri untuk berlari ke arah serigala. Serigala melihat ada singa yang berlari ke arahnya dan ia ketakutan, kakinya gentar agak mundur. Beberapa saat kemudian yang terjadi adalah sebuah suasana awkward, singa itu berlari sambil mengembik! Serigala telah merasakan ada yang janggal, ia sudah tidak ketakutan dan memberikan aungan pada singa sehingga singa ketakutan. Serigala mendapatkan anak kambing.
            Kejadian ini menyebabkan singa dikeluarkan dari gerombolan, ia sudah tidak dianggap bagian dari gerombolan kambing. Akhirnya singa berjalan sendiri, membawa kesedihan. Suatu hari ada seekor singa dewasa yang melihatnya sendirian, sehingga ia memutuskan untuk mendekatinya. Singa melihat ada singa dewasa yang mendatanginya, ia ketakutan karena takut dimakan. Ketakutan ini menyebabkan singa lari dan singa dewasa kebingungan akhirnya terjadi kegiatan kejar-kejaran.
Beberapa Minggu Kemudian
akhirnya anak singa diasuh oleh singa dewasa dan akhirnya bisa menjadi singa yang sesungguhnya.

                                                                                                                       
Sebuah Telaga
           Jika diamati, banyak orang di hidup ini yang tinggal di ‘kandang kambing’, semuanya merasa dirinya rendah, tidak tahu potensi diri yang dimilikinya, dan terjebak dalam kesibukkan yang tidak ada maknanya. Inilah saya dahulu, merasa hidup tidak begitu hidup. Berjalan dan beperilaku sebagai ‘kambing’ di lingkungan yang sangat mendukung ke-‘kambing’-an itu. Tidak ada yang menarik, karena sewaktu itu sulit untuk mengaum, bahkan tahu cara mengaum yang benar pun tidak.
           Hingga pada Maret tahun ini saya berkesempatan mendatangi suatu telaga kehidupan, dikatakan telaga karena saya merasa ini memang nyaman bagai telaga. Namun izinkan saya menggantinya sementara. Hingga pada awal tahun ini saya berkesempatan mendatangi suatu ‘kandang singa’. Ya, benar. Rumah Kepemimpinan PPSDMS sudah bagaikan tempat yang berisikan ‘singa-singa’ besar. Mereka semua, para peserta pembinaan SDM strategis cukup menakutkan dengan segala kekuatannya masing-masing, menakutkan dalam hal yang menakjubkan.
           Sejak menjadi Peserta Antar Waktu atau sederhananya peserta yang menggantikan, saya cukup kesulitan belajar ‘mengaum’, ditambah alumni dari program pembinaan ini telah mencapai ratusan angkanya. Ini sebetulnya menjadi beban tersendiri, ah beban? Bukan, tantangan. Pada dasarnya ketika saya memasuki asrama ini, cukup banyak kebiasaan yang harus saya lakukan. Pertama, tidak ada ruang privasi karena ada 29 pasang mata yang melihat tingkah asli kita, itu artinya lambat laut sifat buruk saya bisa dilihat orang (hey guys, but i’m happy about that, saya jadi bisa evaluasi diri saya menimialisasi keburukan itu). Kedua, jadwal yang padat cukup membuat saya kebingungan mengganti jadwal harian saya berkali-kali, bahkan kini dalam satu minggu saya bisa revisi jadwal tiga kali. Ketiga, asrama ini ditempati 30 orang yang memiliki sejarah hidup yang berbeda-beda, ini artinya mereka memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda. Saya sampai bisa menemukan teman hidup (real best friends, yes friend with s) dan sekaligus menemukan orang yang paling mengesalkan yang pernah saya temui di hidup saya. Semuanya ada.
           Politik dan pemikiran. Terhitung sudah empat bulan saya dibina di asrama ini, banyak hal yang telah... emm. Mengubah cara saya berpikir. Saya bukanlah orang normal yang terlihat normal, maksud saya saya cukup aneh dalam berpikir dan berbicara, tapi mereka bisa menerima itu, sungguh suatu harta berharga. Lalu ini menjadi suatu tantangan, tinggal di sekitar orang dengan mental pemimpin membuat saya harus selalu memutar otak saya untuk dapat menyampaikan apa pikiran saya dengan efektif, karena kalau tidak semua hasil pemikiran saya akan patah begitu saja. Ini adalah suatu sensasi luar biasa, saya jadi sering buka berita dan mempelajari ilmu yang multidisiplin agar dapat berbincang dengan orang-orang di sini. Asik.
           Kerohanian? Bagian ini akan sangat menggelikan. Di asrama yang diisi dengan pembinaan berbasis Islam ini ternyata mengandung segala macam pemikiran mengerikkan tentang agama di kepala pesertanya. Saya pernah berbdebat dengan salah satu peserta tentang konsep tuhan, dan itu terjadi di asrama ini. Semua itu terjadi untuk memperkuat landasan keislaman sebetulnya. Sering suatu saat di kamar saya muncul ide-ide dan celetukan-celetukan yang cenderung liberal (dalam arti perusakan agama) dan kemudian di susul dengan istigfar salah satu peserta dan diikuti yang lain, lucu, bagaimana semua keliberan ini dapat berakhir dengan satu istigfar saja, betapa kental nuansa keislaman di sini. Pada akhirnya kita tidak membiarkan pemikiran liberal itu, tapi tetap berpikiran terbuka. Rumah Kepemimpinan PPSDMS membuat saya berusaha untuk selalu moderat dan terus menguatkan landasan agama.
           Lanjut ke poin prestasi, jelas tulisan “Tulis prestasi bulan ini ya” yang muncul di grup whatsapp kami tiap bulan cukup mengintimidasi mental saya. Gila, bagaimana mungkin mereka dengan kesibukan yang banyak bisa mengisi list di grup itu tiap bulan? Atmosfir prestasi di sini cukup kuat dan membuat saya engap-engapan. Tapi tak apa, ini adalah suatu tantangan lain agar saya bisa ‘mengaum’. Hingga perlahan setelah jadwal saya sudah cukup rapi saya bisa menulist kolom itu meski sedikit demi sedikit. Yang jelas saya harus akselerasi lebih cepat lagi.
           Hingga akhirnya kekeluargaan di sini, entahlah cukup unik program ini mengumpulkan 30 orang selama dua tahun. Meski baru bergabung dan mereka telah bersama selalu satu tahun, saya sudah merasa menjadi bagian dari mereka. Mereka (semua) begitu perhatian, inilah mungkin kenapa kami tidak butuh perhatian pacar (karena memang sejatinya kami tidak mau pacaran). Saya sangat puas dengan dinamika kekeluargaan di asrama. Bahkan singa-singa jantan ini, yang biasa disebut Ksatria UI,  harus bersama mengurusi urusan rumah tangga seperti menyapu, mengepel, menyikat kamar mandi, mencuci, membangunkan, dan segala macam kegiatan rumah tangga lainnya, ini semua dilaksanakan setiap hari. Lalu perbedaan karakter mereka mengajarkan saya untuk terus ramah dalam situasi apapun, untuk selalu perhatian, dan untuk selalu memberi. AH I LOVE YOU ALL GUYS FROM MOON TO SUN.

           Di antara semua kondisi yang ada, kekhawatiran tetap menyelimuti saya. Apakah saya sebetulnya ‘singa’ yang baru menemukan ‘kandang’-nya, atau sebetulnya memang sejatinya saya adalah ‘kambing’ yang kebetulan masuk kandang singa? Entahlah. Teh Enung, Manajer Regional kami pernah mengatakan sesuatu kepada saya, Bang Rifqi, dan Bang Nuzul. Kami bertiga adalah Peserta Antar Waktu yang masuk bersama-sama. Kata Teh Enung, “Mungkin kami dari Eksekutif bisa salah atau keliru memilih kalian,” sebetulnya kalimat itu cukup mengenai pusat hati saya, “tapi Allah telah menunjukan jalan untuk kalian ada di sini,” Yaampun, peluru yang seakan tadi masuk ke pusat hati saya seakan berubah menjadi gumpalan air yang menyejukan mengalir ke seluruh tubuh. Ya, saya telah membulatkan tekad. Saya tidak peduli apakah saya ‘kambing’ atau ‘singa’, yang jelas di sini saya akan terus belajar ‘mengaum’, ‘mengaum’ dengan sangat hingga akhirnya saya bisa membuat ‘singa’ lain, kambing, sapi, katak, ikan, dan semua orang bisa ‘mengaum’ menyebarkan manfaat pada Indonesia yang akan lebih baik dan bermartabat. Soon, really soon.