Selasa, 22 Maret 2016

Tentang Berdamai Dengan Diri Sendiri (2)


Beberapa waktu lalu saat saya melihat dashboard blog, saya melihat satu postingan dengan judul "Berdamai Dengan Diri Sendiri." Post ini merupakan tulisan dari teman SMA saya. (jika ingin melihat post-nya silakan klik link ini)

Pada hari itu rasanya saya kurang mengerti dengan rangkaian kata tersebut, hingga beberapa hari yang lalu saya merasakannya sendiri.

Dalam film Insurgent, Tris Prior sang tokoh utama memiliki konflik karena tidak dapat memaafkan dirinya karena telah membunuh temannya, Will. Cerita berlanjut saat ia melakukan Divergent Test, musuh yang dihadapinya bukan sang musuh yang ia kira, ternyata musuhnya adalah cerminan dirinya sendiri.

======================================================

Seorang pria mengetuk pintu dari balik pintu, aku terkejut karena aku sendang menggenggam sesuatu hal yang kupertahakankan selama 12 tahun, sebuah dosa masa lalu yang sulit dilenyapkan sampai sekarang.

Dan pada hari itu tembok rahasia yang sudah ku buat tinggi menjulang selama ini ia runtuhkan dengan langkah kaki melewati pintu. Dia, orang pertama yang mengetahui semua ini. Ruang kecil itu bukan milikku seorang saja kini.

Aku bahkan ingin membunuh diriku sendiri. Rasanya ingin sekali mengeluarkan otak dalam kepala dan menguraikannya agar tidak adalagi yang perlu aku pikirkan. Hanya saja... jalan seperti itu rasanya terlalu instan.

Aku menyadari betul mengapa Tuhan membuatnya kebetulan memasuki ruang kecil rahasiaku. Agar aku melepaskan benda ini... selama-lamanya. Sebab pola melakukan-lalu-kemudian-menyesal sudah aku lakukan berulang kali.

Di hari saat ia secara tidak sengaja menghancurkan tembok yang telah kubuat menjulang, aku resah dan pergi berlari menjauh darinya. Dalam sujud yang panjang, lalu aku menemukan jawaban agar melihat ini sebagai peluang: kesempatan besar melepas jeratan berumur 12 tahun ini.

"Gue tau lo kecewa sama gue. Kita ngobrol, gue mau jelasin semuanya," Pesan singkat yang ku kirim dengan miliyaran pertimbangan.

Tidak ada respon..

hening...

rasanya tubuhku ditarik paksa ke atas, begitu sesak....

 drrttt

"Kecewa kenapa? yuk ngobrol hari Minggu," Balasan singkat. Padat. Dan berhasil membuat badanku terlepas lagi ke bumi.

=============================================================

Hingga di titik ini, ruang itu tidak saya hancurkan, di dalamnya ada saya dan dia sekarang. Tembok yang hancur sudah diperbaiki, bahkan kini dibuatkan pintu khusus jika ia mau masuk bertemu dengan saya.

Terima kasih atas ketidaksengajaannya,

Dan terima kasih juga untuk saya yang telah memaafkan dirinya sendiri.


Depok, 22 Maret 2016.

Jumat, 04 Maret 2016

Kita yang Kurang Sederhana

Suatu hari kamu melihat sepasang sepatu yang sering kamu pakai melangkah di tiap ujung senja, sembari duduk dan kaki berujar lurus.

Sepasang sepatu saling menatap, coklat. Sang kiri rasanya cemburu pada sang kanan yang masih... hmm, lumayan.
Sementara kiri berlubang di satu sisi, entah karena sering diberi kerja lebih banyak atau... memang ukuran kakimu beda antara kanan dan kiri
------------------

"San, aku kok lagi gak enak hati ya..." ucapku
"Cerita," katanya

Ini seperti... hanya tidak enak hati. Tidak ada yang butuh aku ceritakan.

"Cerita apa aja, yang gak nyambung juga gak apa," sambil tersenyum.

Di kepalaku berputar dua juta topik untuk dibahas, "Kenapa ya ada orang yang susah percaya sama kita, padahal kita udah berkorban banyak?" entah mengapa pertanyaan ini yang keluar.

"Kamu salah niat, mam."




...hening



Apa maksudnya? Otakku memberontak mencari makna katanya.

"Kalau niat kamu bener, tujuannya bukan dipercaya orang," lugas.

...hening

"Dulu aku buat buku bukan buat diapresiasi dan kaya dari buku, cuma buat punya karya aja."


Lalu rasanya isi dada ini membuncahkan air terjun, segala gejolak panas sirna ditelan kesadaran dan logika.

----------------------------
Mungkin sebenarnya bukan masalah kita yang terlalu berat, mungkin hanya kita saja yang tidak terlalu sederhana.



Refleksi diri,
thanks, San.