Menarik mengetahui bahwa hal-hal terbaik dalam hidupku muncul dari arah yang tak pernah ku rencanakan. Sekolah dimana, kuliah jurusan apa, nanti kerja apa.
Aku, dulu (mungkin sampai sekarang), sangat menginginkan dunia penuh gemerlap, panggung penuh cahaya, sorak sorai tepuk tangan bergemuruh.
Pandangan-pandangan mata yang hanya tertuju pada diriku.
Kemewahan dan kenyamanan.
Otak yang brilian dan menciptakan manfaat bagi umat manusia.
Seni yang mendalam.
Wajah yang rupawan.
Karya yang unik dan membuat diriku terkenal.
Tapi berkali-kali terbentur dengan kenyataan, bahwa banyak mimpi-mimpi yang terlalu muluk dan tidak berdasar membuatku pernah merasa tidak bahagia dalam beberapa kondisi. Menggantungkan mimpi setinggi langit tidak pernah salah, tapi lupa bahwa kaki punya pijakan yang terbatas dan lupa bahwa langit sejatinya fana yang menembus atmosfir tanpa batas yang tidak ada orang yang tahu, adalah kekeliruan.
Keliru mendefinsikan mimpi sendiri, tujuan hidup.
Semesta tahu bahwa aku hanyalah seorang bocah yang tidak benar-benar tahu apa yang diinginkan.
Sampai akhirnya, definisi-definisi gemerlap, cahaya, dan impian yang aku harapkan malah mengekang dan merantai jiwa ini dari esensi hidup yang sebenarnya.
Aku melakukan perbuatan baik untuk diriku sendiri. Egois. Aku menjadi bijaksana adalah untuk diriku sendiri. Kepedulianku untuk orang lain bukan untuk mereka, melainkan hanya untuk diriku sendiri. Lama aku tersesat dalam ketidaktulusan.
Tapi Tuhan mengajarkan, siapa aku sebenarnya. Ia ajarkan kenapa aku harus di sini. Ia ceritakan kenapa aku punya kisah hidup seperti ini. Ia bisikkan mengapa ada rasa perih. Setiap mengingatnya aku menangis.
Bahwa benar, aku sudah terlalu bodoh untuk sok tahu mengenai apa yang terbaik untukku. Mengetahui bahwa otak ini telah dicuci dengan dunia yang mendefinsikan kebahagiaan secara sembarangan.
==========================
Pada akhirnya tujuan hidupku sekarang adalah untuk mati.
Aku berjuang untuk gagal.
Aku kini akan berlomba untuk kalah.
Tidak boleh ada rasa perih yang aku takutkan. Sebab takut telah menghalangiku dari berbagai hal baik yang ku lewatkan. Khawatir dan keragu-raguan membuatku tak bergerak sama sekali.
Hasrat jiwa pada dunia ini memang tak bisa ku bunuh, selalu menyenangkan dipuji oleh orang lain. Tapi aku akan membodohi diriku sendiri jika menjadikannya hal utama. Sebab hakikat ridho yang sebenarnya bukanlah dari manusia.
Bukan dari mereka yang punya banyak keinginan, bukan pada mereka yang punya harapan berbeda-beda.
Tapi satu yang aku yakini, kebahagiaan yang membuatku nyaman dan kebahagiaan yang tertuju padaNya tidak pernah salah membuat orang di sekitarku bahagia juga.
Tertanda,
Imam, yang telah dibebaskan.
Aku, dulu (mungkin sampai sekarang), sangat menginginkan dunia penuh gemerlap, panggung penuh cahaya, sorak sorai tepuk tangan bergemuruh.
Pandangan-pandangan mata yang hanya tertuju pada diriku.
Kemewahan dan kenyamanan.
Otak yang brilian dan menciptakan manfaat bagi umat manusia.
Seni yang mendalam.
Wajah yang rupawan.
Karya yang unik dan membuat diriku terkenal.
Tapi berkali-kali terbentur dengan kenyataan, bahwa banyak mimpi-mimpi yang terlalu muluk dan tidak berdasar membuatku pernah merasa tidak bahagia dalam beberapa kondisi. Menggantungkan mimpi setinggi langit tidak pernah salah, tapi lupa bahwa kaki punya pijakan yang terbatas dan lupa bahwa langit sejatinya fana yang menembus atmosfir tanpa batas yang tidak ada orang yang tahu, adalah kekeliruan.
Keliru mendefinsikan mimpi sendiri, tujuan hidup.
Semesta tahu bahwa aku hanyalah seorang bocah yang tidak benar-benar tahu apa yang diinginkan.
Sampai akhirnya, definisi-definisi gemerlap, cahaya, dan impian yang aku harapkan malah mengekang dan merantai jiwa ini dari esensi hidup yang sebenarnya.
Aku melakukan perbuatan baik untuk diriku sendiri. Egois. Aku menjadi bijaksana adalah untuk diriku sendiri. Kepedulianku untuk orang lain bukan untuk mereka, melainkan hanya untuk diriku sendiri. Lama aku tersesat dalam ketidaktulusan.
Tapi Tuhan mengajarkan, siapa aku sebenarnya. Ia ajarkan kenapa aku harus di sini. Ia ceritakan kenapa aku punya kisah hidup seperti ini. Ia bisikkan mengapa ada rasa perih. Setiap mengingatnya aku menangis.
Bahwa benar, aku sudah terlalu bodoh untuk sok tahu mengenai apa yang terbaik untukku. Mengetahui bahwa otak ini telah dicuci dengan dunia yang mendefinsikan kebahagiaan secara sembarangan.
==========================
Pada akhirnya tujuan hidupku sekarang adalah untuk mati.
Aku berjuang untuk gagal.
Aku kini akan berlomba untuk kalah.
Tidak boleh ada rasa perih yang aku takutkan. Sebab takut telah menghalangiku dari berbagai hal baik yang ku lewatkan. Khawatir dan keragu-raguan membuatku tak bergerak sama sekali.
Hasrat jiwa pada dunia ini memang tak bisa ku bunuh, selalu menyenangkan dipuji oleh orang lain. Tapi aku akan membodohi diriku sendiri jika menjadikannya hal utama. Sebab hakikat ridho yang sebenarnya bukanlah dari manusia.
Bukan dari mereka yang punya banyak keinginan, bukan pada mereka yang punya harapan berbeda-beda.
Tapi satu yang aku yakini, kebahagiaan yang membuatku nyaman dan kebahagiaan yang tertuju padaNya tidak pernah salah membuat orang di sekitarku bahagia juga.
Tertanda,
Imam, yang telah dibebaskan.