Minggu, 13 Oktober 2019

Ayo Kita Pindah ke Episode yang Lain

Mari kita tutup episode drama ini, agar seperangkat tubuh beserta prosesornya ini dapat menjalankan programnya lebih optimal, mari kita tutup dengan mengucapkan hamdallah,

Alhamdulillah.

Melelahkan juga disusupi virus merah jambu, menghabiskan energi untuk hal-hal yang harusnya bisa dikesampingkan dulu. Tadinya mau bilang hal sia-sia sih, cuma kayaknya gak sia-sia banget. Rasa bahagia yang menggebu pada sesuatu yang abstrak adalah hal yang menarik untuk dialami dalam hidup ini, kita jadi bisa meneliti apa sih yang membuat seseorang melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu.

Hakikatnya, itulah peperangan antara cinta dan ambisi. Sebuah pertarungan tiada akhir dalam hidup.

Cinta menggerakkan manusia untuk melakukan perbaikan, merawat, memberi, dan menjaga. Sedang ambisi hadir dengan bentuk yang halus menyerupai cinta, dengannya manusia merasa berhak untuk memiliki, menuntut, memaksa, dan merusak segalanya termasuk diri sendiri.

Tapi cinta dan ambisi ini tetaplah saudara kembar yang tak bisa dipisahkan keberadaannya, dengan ambisi kita berusaha dan cinta memberikan energi untuk menerima.

Jadi pengalaman menggebu seperti itu pada episode hidup yang sekarang rasanya bisa dicukupkan dulu, mari kita fokus pada apa-apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki, merawat, memberi, dan menjaga sekitar.

Entah suatu saat episode drama ini harus dimulai lagi, ayo persiapkan diri untuk setidaknya tidak terlalu berambisi menjadi aktor utama. Mungkin bisa jadi sutradara atau setidaknya cameraman saja.

Terima kasih.

Rabu, 25 September 2019

Gara-Gara Barasuara


Dulu sok-sok aku ngertiin musik indie biar ada obrolan sama kamu. Dari dulu mana tertarik aku sama yang begitu, paling anti deh yang namanya datang konser. Temenku banyak kok yang kayak gitu dari dulu, cuma ya aku gak aja, kayak bukan aku banget. Aku mah cocoknya nonton teater di kursi paling belakang dengan alasan “Biar ngetes para aktornya masih bagus gak suaranya sampe kursi paling belakang,” padahal mah gara-gara mikir gak siap ngerampok kantong sama dompet sendiri lebih banyak.

Tiap hari aku coba ngertiin musik-musik ini, tapi kok ya logika aku itu loh kayaknya gak cocok. Kepergok lah aku lagi dengerin tuh lagu, kamu datang terus, “ciee jadi anak indie nih.” Nyengirlah aku, karena gak tau mau bales apa. Aku belum siap hahaha.

Lalu ada tuh satu pemusik indie yang kayaknya paling easy listen buat kuping aku, lagu-lagunya Sal Priadi. Paket lengkap lah dengan musik sendu, kalimat puitis, suara berat, karakter dia yang memelihara rasa sakit, dan yang paling woke adalah gayanya selalu teaterikal. Wes aku tonton lah itu semua videonya di youtube. Sungguh-sungguh semuanya. Eh sedalam itu belajar aku jadi semangat dong cerita sama kamu, maksudnya seneng aja gitu akhirnya ada bahan obrolan lagi.

Pas cerita kamu senyum-senyum gitu sambil ngangguk-ngangguk ngeliatin aku, ampun deh emang, aku berhasil yes.

Seminggu kemudian Sal Priadi ada konser, aku deg-degan beli apa enggak. Ini pengalaman pertama aku beli tiket konser musik. Ditambah kalau beli tiket teater biasanya aku beli dua, gak ada alesan sih ceritanya biar bisa ngajak random temen aja yang mau siapa. Tapi malam ini, di atas kereta, jari-jariku menyepakati dalam persidangan *eh bentar, ini harus dibaca ala-ala pengumuman penting kerajaan gitu, siap?

malam ini, di atas kereta, jari-jariku menyepakati dalam persidangan parlemen antara seluruh organ tubuh, memutuskan: membeli dua tiket konser Sal Priadi, bukan untuk ngajak siapa aja yang mau, tapi buat ngajak kamu. Titik. Klik. Terbelilah lalu terbayarlah dua tiket itu. Selanjutnya yang aku takutkan adalah: kamu gak bisa di tanggal segitu. Bodoh.

Semalaman aku gak bisa tidur atas usahaku menyingkirkan pikiran kamu gak bisa ikut. Tapi paginya, aku seneeeeeng banget akhirnya aku bakal dapet jawaban. Bismillah, “ada dua tiket konser nih, yuk?” Mataku pasti terang banget itu kayaknya lebih terang dari matahari (departement store?)

Tapi kamu diem, muka kamu bingung, aku jadi canggung dan pastinya lebih bingung. Lalu kita sama-sama diem dan katanya kamu mau mikir dulu. Besoknya kamu bilang gak bisa ikut. Lusanya aku tau kamu ada agenda jalan ternyata (sama gebetanmu pake bold italic underline). Akhirnya aku tahu jawabannya, kamu bukan gak bisa datang, kamu gak mau datang (sama aku, yaampun sampe paragraf ini kenapa semua ini jadi terlihat menyedihkan padahal biasa aja).

Lengkap sudah, gara-gara kebanyakan dengerin Sal Priadi, aku kena kutukan kegalauannya. Seminggu. Lalu selesai.

Sendirian aku pencet next song next song di playlist musik yang random. Banyak yang aku suka ternyata: Rasukma, Stars and Rabbit, banyak deh. Tapi ya gak ada yang bisa aku jadiin bahan obrolan sama kamu. Cuma satu yang aku tahu pasti selalu berhasil adalah Barasuara (akhir-akhir ini ditambah Maw & Wang sebenernya yang Kasih Sayang Kepada Orang Tua). Tapi aku gak pernah ngerti Barasuara. Saking frustasinya aku akhirnya nerima kalau emang selera kita beda. Sialnya lagi bukan di musik doang,

Menyebalkan.

Kamis, 19 September 2019

Tanpa Enter yang Memisahkan Kita



Kita tak pernah tahu apakah Khuldi adalah benar-benar dosa Hawa dan Adam atau sekadar takdir Semesta dalam membuat cerita cinta. Juga dosa yang kamu dan saya cipta adalah bagian dari romansa atau jalan kita menjauh dari surga, atau mungkin keduanya. Tidak yang kita keluarkan dalam kata mungkin bukan tidak yang sebenar-benarnya, saya tak percaya dan kamu juga pasti menyadarinya. Diam yang kita cipta adalah tanda bahwa kamu dan saya ada di tempat yang sama: kebingungan berada dimana, panik dan berteriak, lalu saling mendengar lalu menggerakkan leher lalu saling tatap lalu sama-sama berpura-pura tak saling melihat. Kita paksa tenggorokan agar berhenti bersuara karena kamu dan saya takut saling merasa. Tapi ternyata hati lebih kuasa mengatur raga, berhadapan kita, saling memerahkan rona satu dan lainnya, lalu ujung telunjuk kita saling sentuh hingga melebur kita menjadi uap yang tak punya rupa, namun kamu masih bisa saya lihat dengan jelas dalam segelas susu yang lupa kamu habiskan, dalam bekal yang tiap pagi kamu siapkan, dan dalam salam yang saling kita kirimkan sebelum tidur. Kita yang manusia, yang seharusnya ditakdirkan terdiri dari air, malahan rebel menguap menjadi udara yang tak bisa ditangkap gravitasi. Dalam rupa yang tak statis kita saling tatap lalu mendekat. Menari kita berputar menikmati apa yang alam sajikan sampai kita menyadari bahwa kita terlalu jauh untuk berhenti. Kamu dan saya terus berputar dan menghancurkan pekarangan, taman kota, dan melempar wanita tua tanpa sengaja. Dalam gelisah yang kamu tampakkan pada wajah dan dalam detik yang terus bertambah, aku mencoba mengatur strategi agar semua dapat diakhiri. Segala kemungkinan yang muncul di kepala selalu mengarahkan agar kamu dan saya tidak bersama, tapi saya tidak akan menyerah. Saya coba tabrakkan kita pada gedung tinggi namun gedung itu oleng menimpa dan menutup jalanan kota. Saya coba balikkan putaran tarian kita namun apa yang di sekitar kita bertebaran seketika mengoyak apa yang menghalangi. Saya lalu bertanya tanpa suara, apa kamu dan saya terlalu egois untuk berdua? Tapi kan egois adalah mementingkan diri sendiri, sedang saya mementingkan kamu. Tanah lalu makin poranda. Pada pijak yang sudah tak kita punya, pada genggam yang pernah kita rasa, juga pada napas kita yang sempat menyatu





memang saya harus melepaskan kamu.

Minggu, 14 Juli 2019

Galaunya Aku dan Kurang Ajar-nya Sal Priadi

Gue adalah tipikal orang yang kesel kalau ada orang yang lagi galau terus malah dengerin lagu sedih tiap malem. Gue tuh mikir ya itu bukannya malah mengiyakan kesedihan lo dan bikin kesedihan itu nambah parah. Ibaratnya nih ya ada api eh malah tu orang siram pake bensin. Kan coba berapa IPK-nya coba tanya.

Itu tadinya, sebelum sebulan ini gue tau ada orang kurang ajar yang namanya Sal Priadi. Gue yang gak galau sama sekali, 0% putus cinta, dan anti perbudakan atas nama cinta ini tiba-tiba OVERLOAD KEGALAUAN ABIS DENGER LIRIK-LIRIKNYA SAL-PRIADI-SI-MANUSIA-YANG-KURANG-AJAR-PAKE-BANGET-SEGEDE-URANUS.

Gue tuh gak paham, ya. Gue pacaran aja kagak, gimana bisa putus cinta. Masa gue tiba-tiba galau tapi gak tau galau sama siapa.

Ini gak bisa masuk di akal gue beneran. Perasaan-perasaan yang meluap ini, yang gak bisa gue kontrol, gak bisa sama sekali gue kalkulasi pake logika apa pun.

Efeknya adalah gue jadi bikin post galau di Instagram, seakan-akan aing punya pacar gitu loh. Sebel. Lalu gue jadi hapus ratusan postingan gue, menghancurkan feed yang sudah gue susun rapi selama tiga tahun. Menyebalkan. Sungguh.

Coba ya, dimana masuk akalnya orang yang gak galau tiba-tiba ikutan sedih cuma karena denger lirik lagu? Ganggu banget.

=====================

Tapi,

Saking tidak tahannya tiba-tiba nangis nginget liriknya lagi (I don't wanna be a sadboi, please), gue akhirnya curhat sama seseorang.

Selama curhat gue haqqul yaqqin akan terlihat bodoh karena kegalauan gue gak beralasan dan sama sekali tanpa masalah. Tapi ternyata jawaban temen gue membuat semuanya lega.

Dia ngingetin gue untuk inget bahwa gue pernah bilang semua perasaan adalah anugerah dari Tuhan (ya, gue sering ngomong ini berulang-ulang dan sering lupa juga). Rasa sedih yang gue alami ini (yang tanpa alasan), telah membuat gue mengenal perasaan yang belum pernah gue alami.

Sekaligus membuat gue (mungkin) tambah dewasa. Gak konyol lagi di khalayak ramai. Mulai (sedikit) kalem dan santuy. Juga malah bikin gue ngeluarin karya-karya yang sebelumnya gak pernah kepikiran.

Bukankah cara terbaik meredakan rasa sakit adalah mengiyakan bahwa kita sedang tidak baik-baik saja?

Jadi, yasudah, kita syukuri saja lagi. Alhamdulillah.

Juga terima kasih untuk Sal, terima kasih.

Lalu mari kita tutup post ini dengan tiga lirik ciptaan dia yang paling bikin gue gak karuan.

Aku ingin jadi jantungmu dan berhenti semauku agar kau tahu rasanya hampir mati ditikam patah hati. (dari lagu dengan judul NYALA)

Bayangkan betapa cantik dan lucunya gemuruh kecil ini disanding rintik-rintik yang gemas. (dari lagi dengan judul Amin Paling Serius)

Kelak terulang lagi, kau mintaku runtuhkan bumi di atas kepalamu. Dan ku percaya lagi. (dari lagu dengan judul Kultusan)

Kita dan Kata yang Menyakiti

Kalau kau percaya bahwa kata-kata positif membawa dampak baik bagi kehidupan. Apakah berlaku sebaliknya?

Hidup kadang tidak menempatkan kita di tempat yg sukai. Baik dari kejadian-kejadian yang kita benci atau congor-congor orang yang menyakiti hati.

Tapi setiap hal selalu datang bersama alasannya sendiri. Bahwa kata-kata menyakitkan bisa jadi bahan bakar paling efektif agar diri berkembang.

Saat kau belajar sesuatu dan skill-mu biasa-biasa saja, lalu seseorang datang dan bilang, "Bagus kok." Kamu akan merasa puas dan cukup dengan apa yang telah dilakukan. Lalu kemungkinan akan berhenti di sana. Hanya di sana.

Banyak manusia memiliki alasan berkembang karena dianggap payah, dianggap tidak bisa melakukan apa-apa, tidak berbakat, tidak punya kesempatan, lemah, atau dianggap sedang dalam kondisi yang paling tidak kondusif untuk mencapai sesuatu.

Jadi, apa benar kata-kata negatif memang se-negatif itu untuk hidup kita?

Pelaut andal tidak lahir dari laut dengan ombak yang tenang.

Apa yang pahit bagimu juga adalah amanah dan kesempatan dari-Nya untuk kamu agar bisa lewat jalur express dalam naikin level diri jadi manusia yang semanusia-manusianya. Nikmatilah pahit itu dan mari ktia juga ucapkan selamat datang pada kesakitan.

Soalnya kata Bu Dokter, kalau kita menerima bahwa diri kita sedang mengalami kesakitan, sakitnya bakal lebih gak sakit. Yosh!

Kamis, 30 Mei 2019

Basa-Basi-Budaya-Bangsa


Dalam momen hari raya atau momen kumpul keluarga, seperti lebaran yang sebentar lagi tiba, merupakan momen yang memaksa kita untuk siap-siap ditanya tentang apa saja. Hari yang bisa jadi sangat lama terasa apalagi bagi jomblo-jomblo seperti kita.

Topik-topik yang sering muncul di antaranya
Level satu, seputar pencapaian
“Kerja dimana?”
“Anak tante sih sekarang lagi dapet beasiswa LPDP”
“Gak capek emang naik kereta tiap hari?”
“Loh kok gak nyambung kerjaan sama kuliahnya?”

Level dua, dunia perjombloan
“Kapan nikah?”
“Mana calonnya?”
“Cepet nyusul ya, si (menyebutkan sepupu seumuran) malah udah punya anak sekarang.”
“Ini ada kenalan, mau gak?”

atau sampe level tiga yaitu bahasan random tapi tetap bisa lebih berbahaya
“Ih gemukan ya”
“Naha ih ngahideungan?” (re: kenapa kok nambah item?”)
“Kamu kemarin pilih Jokowi ya?!”

Tapi dibanding marah-marah di medsos soal betapa tidak nyamannya basa-basi tadi untuk disampaikan, atau sampai merasa harus marah-marah dan jadi SJW alias social justice warrior bikin story di Instagram, menuntut ke mahkamah atas tindakan tidak menyenangkan, atau sampe narik diri ke kamar lalu menghindari segala kontak dengan sanak saudara sendiri.

Gimana kalau kita memahami bahwa basa-basi tadi adalah bentuk paling sederhana untuk peduli?
(ya walau kadang pertanyaannya tidak menyenangkan sih) Bisa kah kita setidaknya menyadari bahwa tidak semua orang pernah mendapatkan akses informasi tentang bagaimana mental dan pikiran bekerja?
Dan kita yang paham ini gak boleh tuh sama-sekali merasa jadi orang paling ber-etika.

Mereka adalah keluarga dan teman-teman kita yang mencoba membuka koneksi, sayangnya tidak tahu bagaimana cara memulainya.
Sehingga pertanyaan paling sederhana lah yang muncul di kepala seperti, “Kapan nikah?” yang keluar.
Karena beneram deh jadi gak lucu banget kalau udah setahun gak ketemu, lalu pas ketemu lagi yang dibahas adalah soal program memajukan daerah tertinggal.

Jika kita tiliki budaya negeri lain, kita mungkin tidak akan menemukan pertanyaan serupa, pun yang kita temukan adalah kampung-kampung yang sepi, keluarga-keluarga yang canggung, sampai se-kompleks tingkat bunuh diri yang tinggi karena banyak yang merasa sendiri.

Basa-basi di bangsa ini memang kadang menyakiti hati, tapi ia adalah budaya untuk menghubungkan tali-tali di ruang sosial kita.
Jadi dibanding senyum masam saat menjawab pertanyaan “Kapan nikah?”, ayo kita tertawa dan jawab dengan menyodorkan nomor rekening biar dia ikutan nyumbang untuk tabungan hehe.

Kita sebetulnya bisa menikmati segala basa-basi, sebab rasa tidak nyaman adalah perasaan yang bisa kita kendalikan. Jangan jadi makhluk cengeng yang terbawa opini-opini di Twitter dan Instagram, kamu merdeka untuk menentukan apa yang harusnya kamu rasakan.

dan terakhir, selamat menikmati kebersamaan di hari lebaran!