Selasa, 18 September 2018

Inferiority Solution

previous post: Inferiority Problem

===========
Saya rasa Allah baik banget loh, gak ngebiarin saya terlalu lama berkutik dengan masalah ini. Saya tahu jelas sebagai seseorang yang kehilangan arah saya harus nanya jalan ke orang, maka saya tanya ke temen-temen saya, saya ceritakan masalah ter-gak jelas ini ke mereka.

Saya sudah mempersiapakan diri untuk berbagai jenis respon, udah pasti banget bakal ada yang bilang, "Yaampun masa lu begitu doang jadi masalah," atau, "Sabar ya, Mam," sambil gak peduli-peduli amat, wajar dan saya memahami bahwa gak semua orang perlu ngurusin saya. Lalu tiba-tiba DORR!

Saya dalam hati: "Lah iya juga, gue kan bukan pusat dunia ini."

Maksud saya, kadang yang bikin kita kerepotan adalah ekspektasi, termasuk ekspektasi kepada diri sendiri. Kita seakan menempatkan diri kita ingin menjadi orang yang penting, berpengaruh bagi lingkungan, bermanfaat.

Tapi padahal yang menjadi poin dari kebermanfaatan bukan lah apa yang orang lain rasakan, atau orang yang kita bantu merasa terbantu. Bukan di sana poinnya.

Poinnya adalah bagaimana cara kita melihat apa yang kita lakukan, apakah kita telah berterima kasih pada diri sendiri dengan apa yang telah diperjuangkan (walau hasilnya tidak sesuai harapan)?

Pernah kita berterima kasih pada diri sendiri karena telah berusaha hingga ada di titik sekarang?

Karena sejatinya apa yang bisa mendefinisikan diri kita bukanlah prestasi kita, bukan kelemahan kita, bukan apa yang telah kita capai, bukan hasil pekerjaan kita, hal-hal lain semacam sama sekali tidak mendefinisikan diri kita. Yang menjadi definisi dari kamu adalah dirimu sendiri.

Serta sejatinya, kita tidak perlu mengalahkan siapa-siapa sebab yang perlu kita kalahkan adalah diri kita sendiri di waktu sebelumnya. Artinya apakah kita telah menjadi pribadi yang semakin baik dibanding diri kira sebelumnya? dan termasuk terlepas dari standar orang lain atau perbandingan dengan orang lain. Sungguh, menjadi versi lebih baik dari diri sendiri sudah lebih dari cukup.

Jadi pertama saya mau berterima kasih pada Allah yang telah sangat baik mengembalikan saya pada jalur original saya, saya mau berterima kasih pada diri sendiri yang tak mau menyerah pada kepayahan saya, dan saya mau berterima kasih pada kalian yang terus mau untuk menjadi diri kalian sendiri serta berlepas diri dari standar semu yang entah siapa pula yang menciptakan.

Terima kasih.

Minggu, 16 September 2018

Inferiority Problem

Pernah gak sih kamu merasa orang lain lebih hebat dari kamu? Membuat kamu merasa hasil perjuanganmu kalah sama bakatnya (atau sama usahanya). Menemukan orang yang lebih cakep dari kamu. Orang yang kamu rasa dia lebih beruntung, lebih hebat, dan membuat kamu seakan hanya sebuah kaki kecoa di pojokan ruangan.

Atau mungkin kamu merasa bahwa bakatmu gak ada apa-apanya. Bahkan apa pula itu bakat. Segala yang kamu lakukan seperti gak maskimal, setengah-setengah, dan gak niat sama sekali. Lalu matamu melihat orang lain yang melakukan hal sama, tapi BOOM hasilnya jauh jauh jauh lebih baik dibanding begadang-begadangnya kamu tiap malem.

Kita semua pernah merasa di titik itu, bahwa boleh saya tebak setiap eksistensi makhluk hidup... pernah merasa inferior. Pun saya, tepatnya sekarang.

Beberapa pekan lalu saya merekrut orang di tempat kerja, secara sengaja saya memilih orang yang punya kompetensi sama kaya saya (dan bahkan dia punya kompetensi lain yang gak saya punya). Diawal saya berharap dia bisa bantu saya, tapi ternyata lebih dari itu. Dia sagat membantu saya daaaan membuat saya merasa inferior. Ini bikin saya pusing, saya merasa bukan apa-apa, dan saya merasa payah banget.

Itu baru satu hal, pasca kehidupan kampus banyak yang berubah. Aktualisasi diri saya jadi seakan kehilangan tempat, benturan realita yang ada di tempat kerja membuat saya gak bebas berekspresi, saya kebingungan saya ada dimana.

dan juga bingung saya mau kemana.

Vlog yang saya buat gak semantap biasanya, kreasi kepala saya dalam membuat video jadi terkurung dalam sebuah kotak. Saya merasa jiwa saya sedang terkikis karena terlalu banyak mengalah.

Inferioritas yang ada dalam kepala saya menciptakan ketakutan, kemalasan, dan rasa mudah menyerah.

Saya sama sekali gak punya masalah baik sama boss saya, rekan ekrja saya, mau pun orang yang saya rekrut. Saya menyadari penuh masalahnya ada di diri saya: saya kehilangan arah mau kemana, dan saya tidak tahu sedang dimana.

Saya tadinya berniat untuk menutup tulisan ini dengan solusi, tapi saya belum punya.

Saya mau teriak.


====================
solved: Inferiority Solution