Minggu, 23 Februari 2020

Cara Menyempurnakan Hidup Terbaik

Manusia, utamanya yang sudah mencapai pemahaman tertentu, besar kemungkinan pernah mengalami kejenuhan aktivitas. Merasa berada dalam siklus yang itu-itu saja. Kehilangan arah dan maksud kenapa dilahirkan. Hidup dan berjalan dengan otak menyala dan raga yang bergerak, tapi tetap tak mengerti akan kemana hingga berhenti.

Hidup memang seperti itu. 

Masa saat kita menjadi anak kecil rasanya menyenangkan dan penuh fantasi, sedang saat dewasa kita dibebani oleh realita: tanggungan, ekspektasi, harapan orang lain, responsibilitas, baik-buruk, nilai, angka, kekhawatiran, ketidakpastian, dan segala hal yang rasanya mau menghindar pun kita akan tetap terhajar.

Tapi yang namanya sebuah cerita, pasti punya tamatnya masing-masing. Tamat itulah yang menjadikan sebuah cerita sempurna. Hidup juga begitu, yang menjadikan hidup sempurna adalah akhir kehidupannya: kematian.

Berhentilah menghindar berlebihan pada kematian, sebab tanggalan sudah ditetapkan dari jauh-jauh hari walau kita tak dapat kisi-kisi sama sekali. Sebab mau bagaimana juga, kematian sejatinya menyempurnakan kehidupan kita.

Mati adalah pasti, hidup adalah pilihan.

Berapa banyak manusia bernapas tapi sebetulnya mati. Berapa banyak manusia melakukan aktivitas sambil dalam keadaan mati. 

Lantas hidup itu apa?

Hemat saya, ini semua adalah pemaknaan. Peka terhadap apa yang terjadi dalam diri, termasuk peka terhadap perasaan-perasaan yang tiba. Anak kecil jelas lebih ahli dalam hal ini.

Saat mereka sedih, mereka jujur dan tinggal menangis. Saat mereka bahagia, mereka tertawa. Kita yang menganggap diri sudah dewasa, sialnya, kehilangan keahlian-keahlian tersebut. Kekurangan itu juga tidak buruk, ia membawa kita pada produktivitas: menghasilkan sesuatu.

Entah sesuatu apa yang dimaksud. Bisa harta. Bisa aset. Bisa kebahagiaan. Bisa masalah kejiwaan. Bisa aktivitas. Ya pokoknya apa sajalah yang menunjang hidup.

Loh, hidup lagi, jadi hidup itu apa?

Masih abstrak mendeskripsikan apa itu hidup. Tapi yang jelas, menghentikan ceritanya dengan tangan kita sendiri bukanlah sesuatu yang asik. Cerita mana yang asik yang belum selesai eh halaman selanjutnya malah ksoong. Maka selagi kita menunggu kapan tamatnya cerita kita di dunia ini, kita bisa memilih untuk jadi hidup yang tidak hanya sekedar hidup.

Bebaskanlah dirimu dari beban-beban hidup. Maknai bahwa setiap lelah dan rasa sakit adalah unsur dalam kehidupan yang tidak terpisahkan, Apa yang terjadi di dalam dirimu dan di luar dirimu adalah elemen paling bergizi untuk kamu konsumsi menjadi pemaknaan. 

Memaknai hidup itu sendiri sembari menjalani kehidupan bukanlah hal yang menyenangkan dan mudah, tapi setidaknya jadi lebih asik aja bahwa ternyata teka-teki Tuhan seluas ini.

Ibaratnya ada di dalam labirin raksasa, mana asik kalau kita jalan doang kaya zombie tanpa sadar ada di dalam labirin. Kan aklau sadar setidaknhya ktia bisa asik sendiri, senang sendiri, frustasi sendiri, sepaket lah semuanya. Toh pengetahuan yang menyakitkan lebih baik daripada kebahagiaan yang dibungkus kepura-puraan.

Jadi, ayo hidup!

Dan ayo gak usah lagi khawatir berlebihan kalau hidup kita harus disempurnakan. Kalau sudah saatnya, mari katakan, "Ah, akhirnya!"

Sabtu, 15 Februari 2020

Baiknya Tubuh Kita

Tubuh manusia sudah cukup sempurna untuk punya mekanisme penyembuhan diri. Segala luka yang bisa ditanggung dan telah dilewati akan pulih dengan sendirinya. Sedalam apa pun itu, selama tidak mematikan bagian vital, rekoverisasi akan terjadi.

Sistem imun akan belajar mengantisipasi rasa sakit yang akan datang. Secerdas itu tubuh kita, dan itu semua hanya untuk membuat kita bahagia (atau setidaknya tidak terlalu kesakitan). Riuh refleks syaraf saat rasa perih muncul akan sementara.

Hal yang hari ini kita tangisi sejadi-jadinya akan menjadi alasan tubuh menjadi lebih kuat.

Sakit yang kita kutuk sekencang-kencangnya akan kita syukuri nanti.

Dan hidup,

yang terus dengan pintarnya menyimpan jawaban atas semua teka-tekinya,


akan selalu harus diperjuangkan meski kita berlari dengan bekas dari luka yang tak terukur sakitnya.



Terima kasih, diri sendiri.

Rabu, 12 Februari 2020

Dependensi

Lama hidup sebagai insan yang memilih bodo amat sama perasaan sendiri membuat gue jadi kagetan sama apa yang gue rasain sekarang.

Kenapa manusia harus bisa sepeduli ini terhadap manusia lain, bahkan untuk orang yang baru aja ketemu gak lebih dari setahun?

Kenapa hati memilih untuk seyakin ini berjalan dan meruntuhkan kepura-puraan yang dipertahankan dengan baik selama belasan tahun?

Gue, sungguh, sekarang rela untuk dipatahkan pun jika jalan yang harus gue lalui bukan yang gue inginkan. Berkelana ke berbagai tempat selama ini gak tau apa sih ini sebenernya, fisik dan mental, akhirnya kaya nemuin hal yang lu cari selama ini.

"Oh ternyata ini," lega dalam hati.

Kurang hajarnya kelegaan ini ngerombak juga cara gue berdiri. Jika ini peruntungan, sungguh ini peruntungan paling berisiko, gue mempertaruhkan sebelah pijakan pada orang lain.

Siap patah? ya
Mau patah? hal lain, gue sekarang bertaruh sambil bersiap sakit, walu sebetulnya yakin juga bisa jadi ini semua tidak menyakitkan sama sekali.

Dependensi emang makhluk terkutuk.