Kamis, 30 Mei 2019

Basa-Basi-Budaya-Bangsa


Dalam momen hari raya atau momen kumpul keluarga, seperti lebaran yang sebentar lagi tiba, merupakan momen yang memaksa kita untuk siap-siap ditanya tentang apa saja. Hari yang bisa jadi sangat lama terasa apalagi bagi jomblo-jomblo seperti kita.

Topik-topik yang sering muncul di antaranya
Level satu, seputar pencapaian
“Kerja dimana?”
“Anak tante sih sekarang lagi dapet beasiswa LPDP”
“Gak capek emang naik kereta tiap hari?”
“Loh kok gak nyambung kerjaan sama kuliahnya?”

Level dua, dunia perjombloan
“Kapan nikah?”
“Mana calonnya?”
“Cepet nyusul ya, si (menyebutkan sepupu seumuran) malah udah punya anak sekarang.”
“Ini ada kenalan, mau gak?”

atau sampe level tiga yaitu bahasan random tapi tetap bisa lebih berbahaya
“Ih gemukan ya”
“Naha ih ngahideungan?” (re: kenapa kok nambah item?”)
“Kamu kemarin pilih Jokowi ya?!”

Tapi dibanding marah-marah di medsos soal betapa tidak nyamannya basa-basi tadi untuk disampaikan, atau sampai merasa harus marah-marah dan jadi SJW alias social justice warrior bikin story di Instagram, menuntut ke mahkamah atas tindakan tidak menyenangkan, atau sampe narik diri ke kamar lalu menghindari segala kontak dengan sanak saudara sendiri.

Gimana kalau kita memahami bahwa basa-basi tadi adalah bentuk paling sederhana untuk peduli?
(ya walau kadang pertanyaannya tidak menyenangkan sih) Bisa kah kita setidaknya menyadari bahwa tidak semua orang pernah mendapatkan akses informasi tentang bagaimana mental dan pikiran bekerja?
Dan kita yang paham ini gak boleh tuh sama-sekali merasa jadi orang paling ber-etika.

Mereka adalah keluarga dan teman-teman kita yang mencoba membuka koneksi, sayangnya tidak tahu bagaimana cara memulainya.
Sehingga pertanyaan paling sederhana lah yang muncul di kepala seperti, “Kapan nikah?” yang keluar.
Karena beneram deh jadi gak lucu banget kalau udah setahun gak ketemu, lalu pas ketemu lagi yang dibahas adalah soal program memajukan daerah tertinggal.

Jika kita tiliki budaya negeri lain, kita mungkin tidak akan menemukan pertanyaan serupa, pun yang kita temukan adalah kampung-kampung yang sepi, keluarga-keluarga yang canggung, sampai se-kompleks tingkat bunuh diri yang tinggi karena banyak yang merasa sendiri.

Basa-basi di bangsa ini memang kadang menyakiti hati, tapi ia adalah budaya untuk menghubungkan tali-tali di ruang sosial kita.
Jadi dibanding senyum masam saat menjawab pertanyaan “Kapan nikah?”, ayo kita tertawa dan jawab dengan menyodorkan nomor rekening biar dia ikutan nyumbang untuk tabungan hehe.

Kita sebetulnya bisa menikmati segala basa-basi, sebab rasa tidak nyaman adalah perasaan yang bisa kita kendalikan. Jangan jadi makhluk cengeng yang terbawa opini-opini di Twitter dan Instagram, kamu merdeka untuk menentukan apa yang harusnya kamu rasakan.

dan terakhir, selamat menikmati kebersamaan di hari lebaran!