Rabu, 25 September 2019

Gara-Gara Barasuara


Dulu sok-sok aku ngertiin musik indie biar ada obrolan sama kamu. Dari dulu mana tertarik aku sama yang begitu, paling anti deh yang namanya datang konser. Temenku banyak kok yang kayak gitu dari dulu, cuma ya aku gak aja, kayak bukan aku banget. Aku mah cocoknya nonton teater di kursi paling belakang dengan alasan “Biar ngetes para aktornya masih bagus gak suaranya sampe kursi paling belakang,” padahal mah gara-gara mikir gak siap ngerampok kantong sama dompet sendiri lebih banyak.

Tiap hari aku coba ngertiin musik-musik ini, tapi kok ya logika aku itu loh kayaknya gak cocok. Kepergok lah aku lagi dengerin tuh lagu, kamu datang terus, “ciee jadi anak indie nih.” Nyengirlah aku, karena gak tau mau bales apa. Aku belum siap hahaha.

Lalu ada tuh satu pemusik indie yang kayaknya paling easy listen buat kuping aku, lagu-lagunya Sal Priadi. Paket lengkap lah dengan musik sendu, kalimat puitis, suara berat, karakter dia yang memelihara rasa sakit, dan yang paling woke adalah gayanya selalu teaterikal. Wes aku tonton lah itu semua videonya di youtube. Sungguh-sungguh semuanya. Eh sedalam itu belajar aku jadi semangat dong cerita sama kamu, maksudnya seneng aja gitu akhirnya ada bahan obrolan lagi.

Pas cerita kamu senyum-senyum gitu sambil ngangguk-ngangguk ngeliatin aku, ampun deh emang, aku berhasil yes.

Seminggu kemudian Sal Priadi ada konser, aku deg-degan beli apa enggak. Ini pengalaman pertama aku beli tiket konser musik. Ditambah kalau beli tiket teater biasanya aku beli dua, gak ada alesan sih ceritanya biar bisa ngajak random temen aja yang mau siapa. Tapi malam ini, di atas kereta, jari-jariku menyepakati dalam persidangan *eh bentar, ini harus dibaca ala-ala pengumuman penting kerajaan gitu, siap?

malam ini, di atas kereta, jari-jariku menyepakati dalam persidangan parlemen antara seluruh organ tubuh, memutuskan: membeli dua tiket konser Sal Priadi, bukan untuk ngajak siapa aja yang mau, tapi buat ngajak kamu. Titik. Klik. Terbelilah lalu terbayarlah dua tiket itu. Selanjutnya yang aku takutkan adalah: kamu gak bisa di tanggal segitu. Bodoh.

Semalaman aku gak bisa tidur atas usahaku menyingkirkan pikiran kamu gak bisa ikut. Tapi paginya, aku seneeeeeng banget akhirnya aku bakal dapet jawaban. Bismillah, “ada dua tiket konser nih, yuk?” Mataku pasti terang banget itu kayaknya lebih terang dari matahari (departement store?)

Tapi kamu diem, muka kamu bingung, aku jadi canggung dan pastinya lebih bingung. Lalu kita sama-sama diem dan katanya kamu mau mikir dulu. Besoknya kamu bilang gak bisa ikut. Lusanya aku tau kamu ada agenda jalan ternyata (sama gebetanmu pake bold italic underline). Akhirnya aku tahu jawabannya, kamu bukan gak bisa datang, kamu gak mau datang (sama aku, yaampun sampe paragraf ini kenapa semua ini jadi terlihat menyedihkan padahal biasa aja).

Lengkap sudah, gara-gara kebanyakan dengerin Sal Priadi, aku kena kutukan kegalauannya. Seminggu. Lalu selesai.

Sendirian aku pencet next song next song di playlist musik yang random. Banyak yang aku suka ternyata: Rasukma, Stars and Rabbit, banyak deh. Tapi ya gak ada yang bisa aku jadiin bahan obrolan sama kamu. Cuma satu yang aku tahu pasti selalu berhasil adalah Barasuara (akhir-akhir ini ditambah Maw & Wang sebenernya yang Kasih Sayang Kepada Orang Tua). Tapi aku gak pernah ngerti Barasuara. Saking frustasinya aku akhirnya nerima kalau emang selera kita beda. Sialnya lagi bukan di musik doang,

Menyebalkan.

Kamis, 19 September 2019

Tanpa Enter yang Memisahkan Kita



Kita tak pernah tahu apakah Khuldi adalah benar-benar dosa Hawa dan Adam atau sekadar takdir Semesta dalam membuat cerita cinta. Juga dosa yang kamu dan saya cipta adalah bagian dari romansa atau jalan kita menjauh dari surga, atau mungkin keduanya. Tidak yang kita keluarkan dalam kata mungkin bukan tidak yang sebenar-benarnya, saya tak percaya dan kamu juga pasti menyadarinya. Diam yang kita cipta adalah tanda bahwa kamu dan saya ada di tempat yang sama: kebingungan berada dimana, panik dan berteriak, lalu saling mendengar lalu menggerakkan leher lalu saling tatap lalu sama-sama berpura-pura tak saling melihat. Kita paksa tenggorokan agar berhenti bersuara karena kamu dan saya takut saling merasa. Tapi ternyata hati lebih kuasa mengatur raga, berhadapan kita, saling memerahkan rona satu dan lainnya, lalu ujung telunjuk kita saling sentuh hingga melebur kita menjadi uap yang tak punya rupa, namun kamu masih bisa saya lihat dengan jelas dalam segelas susu yang lupa kamu habiskan, dalam bekal yang tiap pagi kamu siapkan, dan dalam salam yang saling kita kirimkan sebelum tidur. Kita yang manusia, yang seharusnya ditakdirkan terdiri dari air, malahan rebel menguap menjadi udara yang tak bisa ditangkap gravitasi. Dalam rupa yang tak statis kita saling tatap lalu mendekat. Menari kita berputar menikmati apa yang alam sajikan sampai kita menyadari bahwa kita terlalu jauh untuk berhenti. Kamu dan saya terus berputar dan menghancurkan pekarangan, taman kota, dan melempar wanita tua tanpa sengaja. Dalam gelisah yang kamu tampakkan pada wajah dan dalam detik yang terus bertambah, aku mencoba mengatur strategi agar semua dapat diakhiri. Segala kemungkinan yang muncul di kepala selalu mengarahkan agar kamu dan saya tidak bersama, tapi saya tidak akan menyerah. Saya coba tabrakkan kita pada gedung tinggi namun gedung itu oleng menimpa dan menutup jalanan kota. Saya coba balikkan putaran tarian kita namun apa yang di sekitar kita bertebaran seketika mengoyak apa yang menghalangi. Saya lalu bertanya tanpa suara, apa kamu dan saya terlalu egois untuk berdua? Tapi kan egois adalah mementingkan diri sendiri, sedang saya mementingkan kamu. Tanah lalu makin poranda. Pada pijak yang sudah tak kita punya, pada genggam yang pernah kita rasa, juga pada napas kita yang sempat menyatu





memang saya harus melepaskan kamu.