Kamis, 19 September 2019

Tanpa Enter yang Memisahkan Kita



Kita tak pernah tahu apakah Khuldi adalah benar-benar dosa Hawa dan Adam atau sekadar takdir Semesta dalam membuat cerita cinta. Juga dosa yang kamu dan saya cipta adalah bagian dari romansa atau jalan kita menjauh dari surga, atau mungkin keduanya. Tidak yang kita keluarkan dalam kata mungkin bukan tidak yang sebenar-benarnya, saya tak percaya dan kamu juga pasti menyadarinya. Diam yang kita cipta adalah tanda bahwa kamu dan saya ada di tempat yang sama: kebingungan berada dimana, panik dan berteriak, lalu saling mendengar lalu menggerakkan leher lalu saling tatap lalu sama-sama berpura-pura tak saling melihat. Kita paksa tenggorokan agar berhenti bersuara karena kamu dan saya takut saling merasa. Tapi ternyata hati lebih kuasa mengatur raga, berhadapan kita, saling memerahkan rona satu dan lainnya, lalu ujung telunjuk kita saling sentuh hingga melebur kita menjadi uap yang tak punya rupa, namun kamu masih bisa saya lihat dengan jelas dalam segelas susu yang lupa kamu habiskan, dalam bekal yang tiap pagi kamu siapkan, dan dalam salam yang saling kita kirimkan sebelum tidur. Kita yang manusia, yang seharusnya ditakdirkan terdiri dari air, malahan rebel menguap menjadi udara yang tak bisa ditangkap gravitasi. Dalam rupa yang tak statis kita saling tatap lalu mendekat. Menari kita berputar menikmati apa yang alam sajikan sampai kita menyadari bahwa kita terlalu jauh untuk berhenti. Kamu dan saya terus berputar dan menghancurkan pekarangan, taman kota, dan melempar wanita tua tanpa sengaja. Dalam gelisah yang kamu tampakkan pada wajah dan dalam detik yang terus bertambah, aku mencoba mengatur strategi agar semua dapat diakhiri. Segala kemungkinan yang muncul di kepala selalu mengarahkan agar kamu dan saya tidak bersama, tapi saya tidak akan menyerah. Saya coba tabrakkan kita pada gedung tinggi namun gedung itu oleng menimpa dan menutup jalanan kota. Saya coba balikkan putaran tarian kita namun apa yang di sekitar kita bertebaran seketika mengoyak apa yang menghalangi. Saya lalu bertanya tanpa suara, apa kamu dan saya terlalu egois untuk berdua? Tapi kan egois adalah mementingkan diri sendiri, sedang saya mementingkan kamu. Tanah lalu makin poranda. Pada pijak yang sudah tak kita punya, pada genggam yang pernah kita rasa, juga pada napas kita yang sempat menyatu





memang saya harus melepaskan kamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar