Senin, 24 Desember 2018

I was every little hungry by every pride and joy

Menarik mengetahui bahwa hal-hal terbaik dalam hidupku muncul dari arah yang tak pernah ku rencanakan. Sekolah dimana, kuliah jurusan apa, nanti kerja apa.

Aku, dulu (mungkin sampai sekarang), sangat menginginkan dunia penuh gemerlap, panggung penuh cahaya, sorak sorai tepuk tangan bergemuruh.

Pandangan-pandangan mata yang hanya tertuju pada diriku.

Kemewahan dan kenyamanan.

Otak yang brilian dan menciptakan manfaat bagi umat manusia.

Seni yang mendalam.

Wajah yang rupawan.

Karya yang unik dan membuat diriku terkenal.

Tapi berkali-kali terbentur dengan kenyataan, bahwa banyak mimpi-mimpi yang terlalu muluk dan tidak berdasar membuatku pernah merasa tidak bahagia dalam beberapa kondisi. Menggantungkan mimpi setinggi langit tidak pernah salah, tapi lupa bahwa kaki punya pijakan yang terbatas dan lupa bahwa langit sejatinya fana yang menembus atmosfir tanpa batas yang tidak ada orang yang tahu, adalah kekeliruan.

Keliru mendefinsikan mimpi sendiri, tujuan hidup.

Semesta tahu bahwa aku hanyalah seorang bocah yang tidak benar-benar tahu apa yang diinginkan.
Sampai akhirnya, definisi-definisi gemerlap, cahaya, dan impian yang aku harapkan malah mengekang dan merantai jiwa ini dari esensi hidup yang sebenarnya.

Aku melakukan perbuatan baik untuk diriku sendiri. Egois. Aku menjadi bijaksana adalah untuk diriku sendiri. Kepedulianku untuk orang lain bukan untuk mereka, melainkan hanya untuk diriku sendiri. Lama aku tersesat dalam ketidaktulusan.

Tapi Tuhan mengajarkan, siapa aku sebenarnya. Ia ajarkan kenapa aku harus di sini. Ia ceritakan kenapa aku punya kisah hidup seperti ini. Ia bisikkan mengapa ada rasa perih. Setiap mengingatnya aku menangis.

Bahwa benar, aku sudah terlalu bodoh untuk sok tahu mengenai apa yang terbaik untukku. Mengetahui bahwa otak ini telah dicuci dengan dunia yang mendefinsikan kebahagiaan secara sembarangan.

==========================

Pada akhirnya tujuan hidupku sekarang adalah untuk mati.

Aku berjuang untuk gagal.

Aku kini akan berlomba untuk kalah.

Tidak boleh ada rasa perih yang aku takutkan. Sebab takut telah menghalangiku dari berbagai hal baik yang ku lewatkan. Khawatir dan keragu-raguan membuatku tak bergerak sama sekali.

Hasrat jiwa pada dunia ini memang tak bisa ku bunuh, selalu menyenangkan dipuji oleh orang lain. Tapi aku akan membodohi diriku sendiri jika menjadikannya hal utama. Sebab hakikat ridho yang sebenarnya bukanlah dari manusia.

Bukan dari mereka yang punya banyak keinginan, bukan pada mereka yang punya harapan berbeda-beda.

Tapi satu yang aku yakini, kebahagiaan yang membuatku nyaman dan kebahagiaan yang tertuju padaNya tidak pernah salah membuat orang di sekitarku bahagia juga.



Tertanda,


Imam, yang telah dibebaskan.

Selasa, 27 November 2018

Diam yang Didiamkan [LHS]

Kamu tahu jelas bahwa dianggap tidak ada tak pernah menjadi sesuatu hal yang menyenangkan. Kita kembali menjadi insan-insan canggung, bedanya ya sebelumnya kita 'tidak' mengenal satu sama lain menjadi 'pernah' mengenal satu sama lain.

Kita kikuk berdua di dalam lift. Aku selalu berharap kalau pun perbincangan harus terjadi, biar kamu saja yang mulai.

"Sholat?" sialan aku tidak bisa mengendalikan mulutku.

"Iya," jawabmu datar.

Hening.

"Sholat?" tanyamu yang sedikit mengagetkanku dan akhirnya-aku-ditanya.

"Makan."

Hening.

Ting. Pintu lift terbuka di lantai dasar lalu membubarkan keberduaan kita menjadi kita yang seorang-seorang.

***

Jelas saat kita sama-sama membuka diri, kita menyadari bahwa esok pagi hubungan kita tak akan jadi sama. Meski pun kau menolak dan berkata tidak akan terjadi apa-apa, sel kecil di kepala kita secara tidak sadar akan membangun tembok yang memisahkan keinginan dan kenyataan, menumpuk bata dan batu satu persatu lalu membuat kita tak mau bicara kata perkata.

Kita sama-sama ingin namun ditolak logika. Kita sama-sama meminta tolong-kamu-saja-yang-mulai-bicara. Namun saat salah satu dari kita berani mengintip dari tembok yang kadung tinggi, yang satunya tidak siap membuka diri.

"Udah makan?" pertanyaanmu yang ku rasa menyimpan ajakan.

"Sudah."

Baiklah kali ini kita tidak berhasil.

"Makan yuk!" ajakku memberanikan diri.

"Mau tidur," jawabmu canggung.

Rupanya kita hanya sama-sama takut ditolak oleh yang lainnya, sama-sama ingin namun tak bisa berbuat banyak. Rasa khawatir terlanjur menyelimuti hati sehingga langkah demi langkah kita sama-sama menjauh agar tidak disakiti, tepatnya oleh diri sendiri.

Kita takut berharap, juga terlalu bodoh karena terlalu banyak menimbang membuat kita sulit terlelap.


===========================

Sejak kuliah saya menemukan rasa nyaman dalam menulis cerita pendek mengenai kehidupan remaja yang rumit padahal sederhana. Semua fiktif (atau tidak namun tetap dilebih-lebihkan). Kebanyakan berasal dari khayalan, sebagian dari kisah teman dan gebetannya, atau mungkin dari kisah sendiri.

Beberapa akan direncanakan dikirim ke blog ini. Sesi "Love Hate Story" ini akan di-tag sesuai istilahnya, juga diberi kode [LHS] setiap judulnya.

Jadi para pecinta cerita cinta, selamat menikmati.


Minggu, 07 Oktober 2018

Emosi Kita adalah Makhluk Hidup

Orang-orang yang memutuskan untuk tidak punya hewan peliharaan sebetulnya menurut saya sangat mustahil. Sebab, setiap manusia punya hal yang harus dipelihara, yaitu emosi.

Kita punya banyak emosi yang perlu dipelihara, yang paling sering hadir adalah: bahagia, sedih, marah, takut. Lalu mari saya ajak pada satu ide: "bahwa semua jenis emosi adalah makhluk hidup yang akan menemani kita dalam setiap langkah."

Entah hanya dalam hidup saya atau hidup semua orang, empat emosi tadi cukup mendominasi kehidupan. Dalam perspektif umum, sayangnya dari keempat emosi tadi hanya satu yang menurut kita terdengar menyenangkan. Sayangnya lagi, sebagian manusia menganggap bahwa tiga emosi yang lain adalah emosi yang buruk.

Seakan kita punya hak untuk menilai makhluk-makhluk mungil itu mana yang baik mana yang buruk.

Padahal,

Mereka semua selalu baik, hanya kita yang membuat mereka buruk.
Kita menghindar kala merasa sedih, kita bersembunyi kala merasa takut, dan kita merasa bahwa marah sama sekali bukanlah hal yang bijak.

Kita nikmati kesenangan dan menampakannya ke setiap orang bahwa kita senang, atau mungkin 'seakan terlihat senang'. Hehe.

Mengapa kita tidak bernapas sejenak, dan tersenyum pada tiap emosi yang kita punya?
Mari sebentar syukuri bahwa Allah telah memberi kita rasa untuk kita nikmati kehadirannya.

Bahagia membawa mu pada napas yang lega, pikiran yang positif, dan segala aktivitas yang menyenangkan.

Kesedihan membawa mu pada perenungan, bahwa ada hal yang tidak selalu cukup, bahwa kehilangan mengajarkan kita untuk menghargai. Menangislah, pelihara kesedihanmu dengan bijak.

Amarah akan mendetakkan jantungmu lebih cepat, bahwa kadang ada hal di luar kendali kita, bahwa tak akan pernah berhenti manusia menjadi kekanak-kanakan sampai dapat mengendalikan amarahnya (bukan menghilangkannya). Maka marahlah dengan bijak, cintailah amarah mu.

Takut mengajarkan bahwa kita tidak pernah pantas, bahwa kita memang selemah dan sepayah itu. Belajarlah rendah hati dari rasa takut, lalu minta lah pertolongan Nya, kemudian maju lah dan hadapi. Pun gagal dan yang kau takutkan benar-benar menjadi nyata, setidaknya kau telah meredam kesombongan dalam jiwa dan menjadi insan yang lebih bijaksana. Berterimakasihlah pada rasa takutmu.

Begitu pun dengan yang lain, kecewa, gelora, iri, sabar, dan emosi-emosi lain. Segalanya bermanfaat bagimu dan harus kau sayangi.

Sebab Tuhan tidak memberikanmu segala rasa itu tanpa alasan baik.

Jadi, selamat menyayangi dirimu sendiri! :)

-------
Terinspirasi dari status WhatsApp salah satu mentor saya, Jimny Hilda, yang mengatakan bahwa setiap emosi kita memiliki hak yang sama. 

Tentang Memaksimalkan Waktu

Berpindah dunia dari dunia akademis ke dunia karir cukup merubah banyak pola dalam hidup,

Pola tidur, pola makan, pola pikir, dan yang terpenting adalah pola karya. Sebetulnya di tempat kerja saya, kerjaan saya buat karya. Tapi sungguh beda karena banyak batas-batas dan aturan yang menantang saya untuk berpikir lebih, artinya karya yang saya buat tidak sebebas ketika diri ini tidak terikat dengan apa pun.

But that's life. Segala hal tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan.

Maka saya mencoba beberapa rekayasa manajemen. Namun seringnya gagal karena bekerja di bidang sosial memang menguras waktu karena kita bermain dalam ranah idealisme. Akhirnya saya coba rekayasa waktu: memotong kebutuhan waktu saya di perjalanan. Biasanya perjalanan untuk pulang dan pergi Bogor-Gondangdia-Bogor adalah 4 jam (atau 1/6 dari waktu saya tiap hari).

Lucu dengan membayangkan bahwa saya tidak mendengar saran orang-orang sekitar bahwa sebetulnya uangnya bisa ditabung dibanding dipakai sewa kamar di Jakarta yang costnya dua kali lipat dibanding di UI dulu.

Saya sepakat uang itu penting, namun bukan tujuan, harta adalah konsekuensi. Juga in syaa Allah saya masih menganggap intensitas menabungan saya cukup (ya walau gak banyak-banyak amat si).

Bagi saya yang terpeting sekarang adalah tidak membiarkan otak dan jiwa saya mengerut karena terlalu banyak mengalah dan melakukan aktivitas rutinan hahaha.

Jadi mari kita lihat keberhasilan cara ini, pun gagal mari kita nikmati saja karena dari gagal juga kita jadi belajar.

Doakan aku ya wankawan.

Selasa, 18 September 2018

Inferiority Solution

previous post: Inferiority Problem

===========
Saya rasa Allah baik banget loh, gak ngebiarin saya terlalu lama berkutik dengan masalah ini. Saya tahu jelas sebagai seseorang yang kehilangan arah saya harus nanya jalan ke orang, maka saya tanya ke temen-temen saya, saya ceritakan masalah ter-gak jelas ini ke mereka.

Saya sudah mempersiapakan diri untuk berbagai jenis respon, udah pasti banget bakal ada yang bilang, "Yaampun masa lu begitu doang jadi masalah," atau, "Sabar ya, Mam," sambil gak peduli-peduli amat, wajar dan saya memahami bahwa gak semua orang perlu ngurusin saya. Lalu tiba-tiba DORR!

Saya dalam hati: "Lah iya juga, gue kan bukan pusat dunia ini."

Maksud saya, kadang yang bikin kita kerepotan adalah ekspektasi, termasuk ekspektasi kepada diri sendiri. Kita seakan menempatkan diri kita ingin menjadi orang yang penting, berpengaruh bagi lingkungan, bermanfaat.

Tapi padahal yang menjadi poin dari kebermanfaatan bukan lah apa yang orang lain rasakan, atau orang yang kita bantu merasa terbantu. Bukan di sana poinnya.

Poinnya adalah bagaimana cara kita melihat apa yang kita lakukan, apakah kita telah berterima kasih pada diri sendiri dengan apa yang telah diperjuangkan (walau hasilnya tidak sesuai harapan)?

Pernah kita berterima kasih pada diri sendiri karena telah berusaha hingga ada di titik sekarang?

Karena sejatinya apa yang bisa mendefinisikan diri kita bukanlah prestasi kita, bukan kelemahan kita, bukan apa yang telah kita capai, bukan hasil pekerjaan kita, hal-hal lain semacam sama sekali tidak mendefinisikan diri kita. Yang menjadi definisi dari kamu adalah dirimu sendiri.

Serta sejatinya, kita tidak perlu mengalahkan siapa-siapa sebab yang perlu kita kalahkan adalah diri kita sendiri di waktu sebelumnya. Artinya apakah kita telah menjadi pribadi yang semakin baik dibanding diri kira sebelumnya? dan termasuk terlepas dari standar orang lain atau perbandingan dengan orang lain. Sungguh, menjadi versi lebih baik dari diri sendiri sudah lebih dari cukup.

Jadi pertama saya mau berterima kasih pada Allah yang telah sangat baik mengembalikan saya pada jalur original saya, saya mau berterima kasih pada diri sendiri yang tak mau menyerah pada kepayahan saya, dan saya mau berterima kasih pada kalian yang terus mau untuk menjadi diri kalian sendiri serta berlepas diri dari standar semu yang entah siapa pula yang menciptakan.

Terima kasih.

Minggu, 16 September 2018

Inferiority Problem

Pernah gak sih kamu merasa orang lain lebih hebat dari kamu? Membuat kamu merasa hasil perjuanganmu kalah sama bakatnya (atau sama usahanya). Menemukan orang yang lebih cakep dari kamu. Orang yang kamu rasa dia lebih beruntung, lebih hebat, dan membuat kamu seakan hanya sebuah kaki kecoa di pojokan ruangan.

Atau mungkin kamu merasa bahwa bakatmu gak ada apa-apanya. Bahkan apa pula itu bakat. Segala yang kamu lakukan seperti gak maskimal, setengah-setengah, dan gak niat sama sekali. Lalu matamu melihat orang lain yang melakukan hal sama, tapi BOOM hasilnya jauh jauh jauh lebih baik dibanding begadang-begadangnya kamu tiap malem.

Kita semua pernah merasa di titik itu, bahwa boleh saya tebak setiap eksistensi makhluk hidup... pernah merasa inferior. Pun saya, tepatnya sekarang.

Beberapa pekan lalu saya merekrut orang di tempat kerja, secara sengaja saya memilih orang yang punya kompetensi sama kaya saya (dan bahkan dia punya kompetensi lain yang gak saya punya). Diawal saya berharap dia bisa bantu saya, tapi ternyata lebih dari itu. Dia sagat membantu saya daaaan membuat saya merasa inferior. Ini bikin saya pusing, saya merasa bukan apa-apa, dan saya merasa payah banget.

Itu baru satu hal, pasca kehidupan kampus banyak yang berubah. Aktualisasi diri saya jadi seakan kehilangan tempat, benturan realita yang ada di tempat kerja membuat saya gak bebas berekspresi, saya kebingungan saya ada dimana.

dan juga bingung saya mau kemana.

Vlog yang saya buat gak semantap biasanya, kreasi kepala saya dalam membuat video jadi terkurung dalam sebuah kotak. Saya merasa jiwa saya sedang terkikis karena terlalu banyak mengalah.

Inferioritas yang ada dalam kepala saya menciptakan ketakutan, kemalasan, dan rasa mudah menyerah.

Saya sama sekali gak punya masalah baik sama boss saya, rekan ekrja saya, mau pun orang yang saya rekrut. Saya menyadari penuh masalahnya ada di diri saya: saya kehilangan arah mau kemana, dan saya tidak tahu sedang dimana.

Saya tadinya berniat untuk menutup tulisan ini dengan solusi, tapi saya belum punya.

Saya mau teriak.


====================
solved: Inferiority Solution

Senin, 06 Agustus 2018

Ketika Kamu Mencintai

Ketika kamu jatuh cinta, kamu harus siap untuk jatuh sejatuh-jatuhnya.

Sebab cinta datang bersama risiko untuk berbenturan, tidak diakui, merasa tak berharga, dan khawatir dikhianati.

Bahkan untuk cinta yang kita akui secara sepihak, sedang si dia bahkan tidak menyadari.

Ketika kamu jatuh cinta, kamu harus siap bertaruh jawaban. Sebab cinta tak selalu berbuah sesuai harapan. Kita tidak tinggal di dalam cerita fiksi, dunia tidak dibentuk karena imajinasi kita sendiri.

Kecuali kamu mau berlari menyelam dan membangun realita dimana kamu tidak bersinggungan dengan siapa pun sama sekali. Kamu bebas membuat tokohmu sendiri dan memutuskan untuk tidak pernah sakit hati karenanya.

Lagi-lagi itu pilihan untuk menelan pil pahit bernama kenyataan, atau dibuai mimpi.

Cinta datang bersama risiko, dan itu yang membuat jatuh cinta hanya untuk orang-orang yang disebut sebagai seorang pemberani.

Jumat, 11 Mei 2018

Pijat

Saat mahasiswa gue menemukan salah satu bakat yang ada pada diri ini, bakat itu adalah mijit. Ditambah kehidupan aktivis kampus yang sering banget nginep di puncak, kehidupan tiap hari di asrama, dan kondisi-kondisi lain yang berhasil mengasah skill gue dalam mijitin orang. Terakhir gue dapat testimoni dari salah seorang Abang Depok yang temen gue juga sih, katanya jari gue kalau lagi mijit berasa jadi batu.

Saking passionatenya gue dalam pijit-memijit ini, waktu kuliah gue sampe nyari buku titik refleksi manusia, belajar beberapa materi biologi terkait, psikologi dengan topik stressor, dan hal-hal sejenis itu. Gue gak paham sih, kadang juga sebenernya malu ya kayaknya pijit bukan skill yang penting-penting amat untuk dipelajari tapi aing sampe segitunya wkwk.

Sebenernya gue sih asik-asik aja ya kalau mijit, kan bantu orang rileks juga dan bantu orang reducing stress. Cuma jadi susah buat gue nyari orang yang mijitin gue, ditambah kan pusing juga masa iya mijitin diri sendiri gimana caranya coba.

Sejak saat itu aku merasa Kagebunshin Naruto itu penting juga ya untuk dipelajari

Kehidupan pijit-memijit gue pun berubah sejak masuk tahap skripsi di kampus, karena pusing ya dan lagi megang beberapa tanggung jawab juga memaksa gue untuk memilih datang ke tukang pijit refleksi.

Itu pertama kalinya dalam hidup gue karena dulu gue takut banget masuk ke tukang pijit refleksi tau-taunya pijit plus-plus kan serem ya... Tapi akhirnya pikiran gue berubah sejak keenakan dipijitin orang. Pikir gue, "Wah gila ini skill abangnya!"

Pasca pijitan pertama gue merasa skill gue gak ada apa-apanya, gue harus banyak belajar.

Al hasil sampai sekarang gue rutin ke tempat pijit yang sama sekitar dua minggu sampai sebulan sekali, buat apa? Buat pijit iya, tapi adalagi yang lain... gue harus mengamati bagaimana cara abang-abang ini mijit.

Di titik mana harus diteken
Teknik menggeserkan ibu jari di badan orang
Cara mengurusi jari-jari tangan dan kaki
Semuanya gue perhatikan secara rutin karena pijit adalah jalan ninjaku.

Mungkin juga abangnya grogi kali ya gue liatin tangannya tiap dipijit, tapi bodo amat pokoknya skill mijit gue gak boleh noob.

Gue sadar sih, gak umum punya passion mijit WKWKKWKWK. But, this is me. Karena gue sedang tidak menempatkan diri gue mengikuti ekspektasi orang lain juga hehehe.

Ke Makassar sama si Ryan
Sekian.

Sabtu, 21 April 2018

Memaknai Kegagalan

Manusia hidup dengan rencana-rencananya. Kamu bisa saja punya seribu mimpi termasuk satu milyar cara untuk menggapai mimpi-mimpi itu. Kamu bisa saja berusaha mati-matian sampai tulang-tulang patah untuk berada di satu titik yang kamu inginkan.

Tapi hidup tidak melulu memberi apa yang kamu mau. Piala yang kamu impikan bisa saja tidak bisa kau sentuh di saat itu juga. Tropi yang kamu harapkan untuk kamu genggam akan dipegang oleh orang lain dan menggoreskan luka, banyak maupun sedikit. Bukan karena dia lebih beruntung, biar pun kamu merasa kamu yang paling berusaha, namun perjuangan tidak pernah salah menempatkan seseorang harus berada.

Artinya, usaha dia lebih baik dan terstruktur dibanding milikmu.

atau

Perjuanganmu tidak diperuntukan bagi tempat yang kamu inginkan, tapi ada tempat indah lain di depan yang belum bisa kamu lihat sampai sekarang.

atau keduanya.

Jadi entah mimpi-mimpimu tercapai atau pun tidak, hidup akan memberikan apa yang memang layak bagimu sebagai manusia yang selalu berusaha bahagia. Entah sesuai dengan yang kamu ekspektasikan atau tidak.

Percayalah bahwa mimpi yang lain sedang dipersiapkan, maka kamu juga harus mempersiapkan dirimu sendiri lalu melangkah lagi ke segala tempat yang kau inginkan.

Kamis, 15 Maret 2018

Aku Terima Kau Apa Adanya, Beb.


Seberapa banyak laki-laki yang pernah kalian temui dan dia suka futsal? Saya banyak, banget bahkan. Tapi kalau mau jujur, they aren’t do it because they like it, gak semuanya namun banyak jumlahnya. Mereka melakukannya karena biar bisa fit in sama lingkungan.

Di luar futsal, kita mungkin sering melihat orang melakukan hal yang sebetulnya bukan dirinya amat. Tapi jadi senang karena dengannya kita bisa membaur dengan orang-orang di sekitar kita. Ya, pelakunya diri kita sendiri. Berapa orang yang suka KPOP soalnya lingkaran temennya suka KPOP? Berapa orang yang tiba-tiba suka keluar malem karena temen-temennya suka karokean? Berapa orang yang tiba-tiba pada suka sama puisi abis nonton AADC2? Ya gak tau sih saya juga berapa banyak wkwkwkwk.

Waktu saya jadi supervisor di RK (Never ending flashback, damn!), ekspresi anak-anak lebih terlihat jujur saat mereka main cing benteng, gobak sodor, atau hal-hal lain yang mungkin gak bisa dia lakuin sama temen kampusnya. Beda hal kalau futsal, lebih banyak orang yang terlihat “Yaudah yang lain ikut kan, gue ikut juga deh.” Saya mencoba paham bahwa melelahkan memenuhi ekspektasi orang lain yang bahkan orang lain itu juga ngikutin ekspektasi mayoritas orang. Lingkaran setan banget gak sih.

Kita melipat bendera-bendera keunikan kita karena khawatir dianggap aneh, takut tidak diterima, dan hal-hal lain yang pokoknya bikin kita gak punya temen. Kita mengenyampingkan hal-hal yang sangat menyenangkan bagi kita agar bisa menyenangkan orang lain. Kita senang bisa berbaur dengan mereka.

Dan saya memutuskan untuk keluar dari aktivitas-aktivitas itu sejak lama. Saya tidak ingin menyenangkan orang lain dengan mengenyampingkan hal-hal yang saya suka. Lalu rupanya ketakutan tidak punya teman itu terbukti semu. Saya masih bisa diterima walau berbeda, saya diterima apa-adanya, saya... mendapatkan segalanya. Sejauh yang bisa saya lakukan saya tetep dateng futsal walau saya melipir ke billiyard, iya mereka main futsal terus saya sodok-sodok bola sendirian. Menyenangkan tapi berasa jomblonya haha.

Walau saya akui juga saya belum sepenuhnya bisa lepas dari ngikutin ekspektasi orang lain. Karya-karya saya percampuran antara hal yang saya suka dengan yang orang lain suka (atau costumer suka). Saya riset kecil-kecilan soal sukanya mereka, apa ada saran, apa ada kritik. Tapi kalau ada saran masuk dan itu udha terlalu mengusik kesukaan saya yaudah lah gak deal berarti. Ya fleksibel aja sih ya sebenernya. Love what you do and money will follow.

Ada temen jogging saya, anaknya macho, mukanya cakep, anak masjid, suatu hari pas kita jogging bareng dia sempet serius ekspresinya dan ragu-ragu buat cuma bilang, “Sebenernya gue suka nonton girlband korea.” Oh maaaaaan!!! Saya kira mau jujur apaan! Haha!

Konstruksi sosial masyarakat dunia menurut saya udah berlebihan banget, this sharpest world gonna make us simillar. Lo laki lo harus suka bola, lo preman lo harus suka heavy metal, lo bertato lo gak boleh suka susu rasa stroberi, serta konstruksi sosial lain yang gak harus banget kita ikutin. Dalam termin yang paling negatif ini terjadi loh misal pada remaja dengan rokoknya.

Hal ini pun merambah ke taraf ganteng dan gak ganteng, (disclaimer ini bukan karena saya gak bisa terima saya bukan golongan orang bermuka malaikat yang cerah dan bersinar bagai senja di pagi hari. Lagian mana ada senja di pagi hari, lur!) . Konstruksi sosial kita membentuk bahwa orang ganteng itu tinggi, badan atletis, muka charming, idung mancung, badan putih. Makin memenuhi kriteria tadi maka lo akan dianggap ganteng. Orang-orang lalu berbondong beli sabun pemutih kulit, obat peninggi badan, pergi nguli di gym (ya saya tau sebagian orang ke gym biar sehat, tapi kalau lo mau baca bukunya Budiman Hakim yang bahas soal costumer insight, mayoritas orang ke gym alasannya biar bisa bangga kalau lagi telanjang! OMG!) Jujurlah pada diri sendiri!

Jadilah berbeda dan bangga lah dengan hal itu. Lo wibu kalau wibu jangan karena orang-orang, lo suka sastra jangan karena gebetan lo suka, lo suka ngaji ya jangan ngumpet baca quran di tempat umum. Apa pun hal yang bikin lo nyaman, lakuin aja.

Ya ini juga jangan bikin kita ngelupain hal berbau sosial ya!!! Habluminannas itu adalah hal yang sangat baik gaes. Jangan samain jadi orang yang unik sama jadi ansos atau jadi manusia yang gak peduli sama perbaikan diri haha. Tetep perbaiki diri dan jadi orang yang terbaik yang bisa dicapai.
Kibarkanlah keanehanmu yang selama ini kau lipat di dalam dirimu selama itu baik buat dirimu. Selama itu gak ngerusak ya jalanin aja. Jangan sedih kalau ternyata lo gak menuhin standar orang lain. Bikin aja stadar sendiri! Motor aja punya standar sendiri woy!

Jadi keep on your track, your really track. Your own.

Senin, 12 Maret 2018

Cermin di Barbershop

Versi yang terjadi di kepala

Saya tiba-tiba kepikiran, bahwa bagi saya kegiatan yang paling menarik saat cukur rambut adalah kita bisa berlama-lama menatap diri kita sendiri di depan cermin.

Lurus menyelami bola mata sendiri, mengarungi lautan kehidupan yang pernah dilewati, masuk ke labirin cara berpikir, dan berlarian dalam mimpi dan rencana.

Bercukur merupakan salah satu situasi yang tepat untuk mengenali diri sendiri. Meski tidak bisa bicara karena malu masa ngomong ke bayangan sendiri di depan tukang cukur, tapi tatapan yang kuat dan penuh arti memberi bensin tersendiri bagi jiwa muda yang sedang kehilangan arah ini.

Berpikir merupakan hal yang merdu juga rupanya, ya?


==============================

Versi yang terjadi di ruangan

"Mas Mas kok nangis? Ada yang luka kena gunting?" panik dia

"Eee... enggak ada, Mas. Ini udah ya cukurnya?"

"Udah, Mas." mukanya heran

"Ini ya uangnya, makasih Mas!" Lalu lari menuju motor untuk pulang dan berpikir bulan depan kalau cukur bisa dimana ya...

YA ALLAH BOSQUE, MALU PISAN!!!!!

Jumat, 02 Maret 2018

Kayaknya Sebentar Lagi Saya Meninggal

Duh terlalu muda gak sih buat saya nulis tema ini? Saya juga ragu tapi itu bener yang saya rasain sekarang. Saya hanya merasa bahwa sebentar lagi saya meninggal. Entah tepatnya kapan, mungkin hanya beberapa tahun dari sekarang, atau mungkin umur saya gak sampai lewat akhir tahun ini. Bisa jadi juga beberapa mingu dari sekarang atau bahkan gak sampai beberapa hari.

Bukan dari peramal, bahkan saya gak percaya sama sekali sama peramal. Cuma berdasarkan perasaan aja, semacam terkaan singkat yang saya percayai cukup kuat. Walau bisa salah juga, sih.

Mungkin bisa karena sakit, mungkin bisa karena tiba-tiba ketabrak di jalan, atau pas saya bersin tiba-tiba ada mis-mekanisme tubuh yang nyerang jantung, virus yang masuk ke otak, reaksi obat, tiba-tiba ditembak orang (dalam arti sebenarnya, bukan diajak jadian), atau kemungkinan-kemungkinan lain yang sangat-sangat memungkinkan bagi saya.

Ini bukan karena parno abis nonton series film Final Destination, ya. Bahkan film itu terakhir saya tonton waktu kelas 3 SMP. Ini tiba-tiba aja jadi pikiran saya akhir-akhir ini.

Namun perasaan ini gak ngebawa saya ke ketakutan dan menghindari kematian (ya walau tetep takut juga sih) tapi lebih ngebawa saya soal ke pemaknaan hidup. *ceileh**beneran kaya orang tua omongannya*

Bahwa ya segala nikmat yang saya punya sekarang bisa aja tiba-tiba gak saya milki lagi, segala titipan logika otak, kemampuan bernapas, keluarga yang keren, temen-temen yang bikin hidup saya "hidup", pengalaman, kapasitas, rasa kasih sayang, kepedulian yang saya syukuri karena Allah udah baik banget ngasih itu semua ke saya... bisa tiba-tiba Allah ambil lagi gak pake pengumuman dulu ke saya.

Bahwa segala gelar alumni yang saya punya bakal ketutup sama satu gelar:

ALM. MUHAMMAD IMAM NAWAWI SYUJAI

Keren banget gak sih ada gelar depannya gitu? Ya kalian boleh manjangin Alm. di situ jadi Almarhum. Tapi saya lebih suka manjanginnya jadi "Alumni".

Alumni Kehidupan,
bahwa masa saya berjuang di amanah hidup udah selesai. Udah harus buru-buru pergi dan gak bisa diulang lagi. Sama kaya alumni sekolah sama kampus, mana bisa ngulang lagi masa-masa jadi siswa. Paling cuma bisa reunian kalau kangen sama temen. Cuma ya reuniannya sama juga kaya di dunia, ada yang dateng dan bisa nostalgia bareng dan ada yang gak bareng sama kita. Di istilah alumni kehidupan, pilihan barengnya cuma ada dua: bareng di neraka atau bareng di surga, pilihan lainnya ya gak bareng sama sekali.

Terlepas dari perputaran kehidupan akhirat, saya juga mikir nama saya di dunia gimana.
Ini kalau saya meninggal tapi aib saya yang kebuka malah bikin keluarga dan orang-orang deket saya malu gimana ya...
Tapi saya mikir lagi, ah yaudah sih... saya udah meninggal ini jadi buat apa ngurusin eksistensi saya di dunia, di alam kubur mana kedengeran. Lagi pula, selalu menjadi hak Allah untuk diapain aja aib saya, Dia selalu tau yang terbaik kan. Kalau ditutup ya alhamdulillah, kalau dibuka pun alhamdulillah juga mungkin itu hukuman dari Allah buat saya hehehe.

Tapi saya mikir lagi, ini udah sejauh mana sih saya bermanfaat... apa idup saya cuma kebanyakan omong ya... apa kebanyakan pencitraan ya? (huhuhu sedih) tapi yaudahlah sekarang saya bertekad mumpung masih bisa keluar nih napas dari paru-paru saya gak boleh diem! Saya gak bisa main-main lagi! Pokoknya harus serius ya Mam buat menjadi perantara harapan orang-orang sebisa saya! Oke, Mam? OKEEEEE!!!! hehehe

Tapi satu yang saya pelajari dari hidup, bahwa banyak hal yang nyatanya tidak bisa saya kendalikan sesuai kemauan saya.
Lagi semangat-semangatnya eh tiba-tiba gak jadi karena masalah kecil, udah berusaha keras eh ternyata gagal, lagi pengen-pengennya sesuatu dan udah berusaha ngumpulin modal eh ada keperluan lain, lagi sayang-sayangnya sama sekelompok orang eh tiba-tiba ada aja kelakuan yang bikin pisah.

Iya, gak semua hal bisa kita perkirakan akan selamanya ada di sekitar kita.

Tapi itu untungnya gak bikin saya berhenti berharap. Seperti yang suka saya bahas di omongan sebelumnya dan sehari-hari bahwa setiap kegagalan dan ketidakberhasilan menyimpan banyak hal untuk disyukuri. Bahwa kehidupan selalu menyiapkan harapan di tingkat yang lebih tinggi.

Maka saat masalah datang... artinya saya lagi ditantang biar ada di posisi "hidup" yang lebih baik, kan?

Sebenarnya post ini udahan aja sih, tapi karena bahas soal kematian... gak puas ya kalau tanpa ada pesannya. Jadi begini ajadeh, saya akan taruh di sini pesan terakhir saya yang akan selalu saya edit kapan pun saya mau (selagi masih ada kesempatan hidup) syukur-syukur bisa dibaca abis saya meninggal.

Saya mau mengucapkan terima kasih untuk semua orang yang telah bertemu dengan saya semasa hidup, keberadaan kalian... siapa pun kalian... baik Imam kenal atau pun tidak, baik kalian tau Imam atau pun tidak, percayalah bahwa kalian turut membentuk Imam yang seperti ini. Sesebentar apa pun masa silaturahim kita.

Menjadi ruh yang pernah hidup merupakan sebuah nikmat luar biasa. Menjadi orang yang ceria merupakan usaha yang menyenangkan. Memberikan dampak merupakan kesempatan yang tak bisa tergantikan. Senyuman-seyuman yang terukir dan tetesan-tetesan air mata yang mengalir adalah luapan nikmat dan istigfar yang melesat ke langit.

Hati-hati yang bergetar, jiwa-jiwa yang melayang, logika yang berputar-putar adalah melodi bagi tubuh-tubuh yang masih dapat bergerak. Bukan untuk diam terus-menerus, tapi untuk terus melangkah lagi menebar harapan-harapan baru bagi mereka yang membutuhkan.

Jadi, tetaplah hidup sehidup-hidupnya!

Tertanda,
Muhammad Imam Nawawi Syujai
Seorang Alumni dari Kehidupan

Minggu, 04 Februari 2018

Mata-Mata yang Kecewa

Ada saat dimana saya melihat tatapan kekecewaan orang lain pada saya, ya mereka kurang beruntung (atau mungkin bisa dibilang beruntung) telah mengenal saya pada titik ekstrim saya yang lain.

Sebagai informasi awalan, saya hidup dalam dua titik yang bisa dibilang cukup ekstrim. Mungkin gak ujung-ujung banget sih titiknya, cuma ya cara diri saya berubah posisi dari saya yang sekarang ke saya yang lain itu cukup menyebalkan hahaha. Nggak kok ini bukan bipolar, slow. Ini cuma masalah sisa-sisa penolakan saya pada masa lalu yang terkadang muncul kalau saya lagi gak punya pertahanan yang cukup, dan itu bener-bener jarang.

Lanjut cerita. 

Nah dalam satu momen saya pernah lepas kendali dan menghancurkan segala yang saya bangun. Lalu orang-orang yang tadinya terdepan mendukung saya, menjadi mundur satu persatu, ada yang perlahan-lahan dan ada juga yang ngambil langkah seribu lalu membangun dinding setinggi ego manusia. Agak kecewa sebetulnya, seakan mereka gak tau betapa ngos-ngosannya saya selama ini jadi Imam yang baik-baik saja (tapi emang gak tau dan gak perlu tau juga sih wkwkwk). Bagaimana saya melihat kebijaksanaan mereka hancur lebur menjadi puing yang gak ada sisanya.

Tapi lama saya mikir, ini kayak proses seleksi aja sih sebenernya. People come and go. Menahan seseorang tetap menyukai saya akan membuat saya jadi buta lagi dalam mencintai diri sendiri.

Oh iya, ini juga buat saya yakin bahwa tingkat kesiapan seseorang terhadap perbedaan latar belakang hidup itu beragam. Artinya (atau sialnya) mereka gak siap dengan diri saya yang satunya. Ini juga membuat saya jadi beruntung karena gak perlu capek-capek berusaha untuk gak buta sama kekaguman diri sendiri. Merasa agak melatih kebijaksanaan diri kalau emang suatu saat ada temen saya juga yang punya latar belakang yang bikin kaget, saya minimal berusaha untuk gak bikin dia down dan mempertahankan diri dia tetap berharga. 

Buat penutup, saya mau kasih pesan deh buat pembaca. Saya tau kok tiap orang punya dua titik ekstrimnya masing-masing, itu wajar kalau kamu gitu juga. Cuma ya saran saya gimana aja kita berusaha dengan bijak memilih titik ekstrim yang akan sering kita gunakan sebagai definisi "diri saya". Semangat! Jangan baper berlebihan kalau orang lain gak nerima kamu karena kamu ketajong (ini apa ya bahasa indonesianya) sekali dua kali, kekecewaan mereka bukan indikator hilangnya kebahagiaan kamu, ciptakan kebahagiaanmu sendiri biar enak buat balik lagi di titik yang kamu pilih. Pun jangan lupa terus perkuat diri dan perbaiki lagi, masa iya jadi orang yang begini-begini terus. Hehe.

Sabtu, 13 Januari 2018

Thanks, you.

Hi!

Sebenernya mau gue kasih pas ulang tahun lo cuma waktu itu pikiran gue lagi fokus ke urusan skripsi hahaha. Jadi ini bakal agak drama dikit tapi gak apa dah ya.

Gue mau ngucapin makasih udah jadi orang yang cukup berpengaruh buat gue di 2017 in your own way. Gue cukup banyak mendapatkan beberapa pembelajaran yang lumayan lah ya.

Makasih juga udah mengizinkan gue mengetahui sebagian kecil diri lo, dari cerita-cerita lo dan dari pertanyaan-pertanyaan unfaedah gue.

Juga makasih udah jadi My Jogging Buddy tahun lalu wkwk. Ya gue udah lulus dan harus memasuki fase kehidupan lain jadi mungkin bakal susah buat kita jogging bareng lagi (walau mungkin masih bisa). Kayaknya selanjutnya gue mungkin bakal gabung Runners Community aja gitu di Bogor, itu pun kalau gue gak males dan punya kebencian yang cukup pada lemak yang bagai nutrijel ini.

Oh iya sorry untuk segala kebawelan dan ke-sok tahu-an gue, sok-sok nasehatin sok bijak bla bla bla. Maaf kalau ternyata malah ganggu idup lo wkwk. Segala lika-liku hidup lo yang begitu-begitu kudu mulai lebih didinamisasi keknya woy #kansoktaulagiguekampay. Upgrade diri lagi ya! kapasitas dan potensi lo bagus, sayang kalau gak lo manfaatkan dengan baik amanah berupa kapasitas dan potensi ini.

overall makasih aja udah jadi orang berbeda dari orang lain yang gue temuin di 2017.

Semangat menjadi pembangun peradaban!
Selamat ulang tahun!

p.s. jangan kepedean, ini cuma kado ulang tahun doang.

Post Pertama di 2k18

Seperti biasa, gue suka review setahun ngapain aja. Sebenernya telat sih harusnya pas tanggal 31 Desember 2017 cuma gue kemarin pusing banget ngerjain skripsi ampe gak keurus ini blog. Untung ini blog gak selingkuh soalnya dimana lagi gue bisa curhat panjang-panjang kalau enggak di instagram #lah *ditabokblogsendiri.

Di tahun lalu jelas gue menemukan jati diri gue yang baru, gue makin matang mengenal diri gue. Inget banget hadeh waktu galau di tengah tahun gegara kudu berhenti jadi SPV RK. Ini kegalauan paling gede pada manusia kusabab aing joms jadi gak bisa ngegalauain pacar atawa mantan. Ampe mewek-mewek tiap malem, ampe ke psikolog, ampe bahkan gue gak mampu ikut UAS Matkul di Psikologi padahal kelasnya maen-maen doang :(

Gue gak nyesel sih, gue malah bangga pernah ngelewatin masa kaya gitu. Berasa film soalnya #lah

Sebenernya setelah pekan-pekan itu gue jadi lebih jauh mengenal diri gue, lebih bisa mengendalikan atmosfir mental gue, lebih toleran sama sesuatu hal yang berbeda, dan merasa lebih mudah menyayangi segala hal yang ada di hidup gue. Menyadari melalui tamparan yang keras bahwa gue bukan pusat di dunia ini dan sadar bahwa "hey you, stop being selfish little bastard!" haha. Anyway I wanna say thanks to Allah karena udah nyelamatin gue dari penyakit ujub (cari aja di Youtube ceramahnya aa gym) dan membuat gue punya kesempatan untuk menjadi Imam yang lebih bijaksana bertindak memilih sesuatu dalam hidupnya.

Sebenernya setahun kemarin bukan hanya kejadian di atas sih. Gue juga mengalami dinamika di Salam UI, dimana sebenernya aing berpotensi jadi sekjen tapi alumni pada pengen gue jadi kabid syiar yaudahlah namanya juga amanah ya biar Allah yang menentukan mana yang terbaik buat kita. Lagian di syiar ternyata malah banyak bersyukur gue, gak tau deh kalau ternyata gue jadi sekjen gue bakal kayak apa wkwk. Ketika di syiar gue juga mengalami banyak dinamika, ntar gue ceritain post lain deh.

Intinya tahun 2017 menurut gue tahun dimana gue belajar menyadari bahwa gue gak bisa mengendalikan segala hal walau gue berusaha mati-matian, ada tangan-tangan Allah yang terlibat menggeser-geser peta jalan gue biar gue gak jatoh ke lobang buaya. Namanya juga manusia ya cuma tau yang terbaik versi akalnya sendiri.

Jadi 2017 semacam bulan penerimaan aja sih. Sebenernya setelah itu kan gue jadi better person than before ya dan mulai menata hidup gue, gue jadi merasa lebih hidup aja hahaha. Seneng banget parah.

Oh iya, selanjutnya proker Syiar yang gede-gede banyak banget bejibun, mana gue lagi magang nyambi skripsi ya. Bayangin woy *iya bayangin dulu gue tunggu 5 menit*








udah bayanginnya?

Bayangin aja nih ya gue tiap hari kan ke sekolah ya ngurusin kesehatan mental bocah-bocah SMA di Bogor, terus sorenya langsung caw ke Depok nyiapin Salam... KEMANA KAU PINTU DORAEMON DASAR PENIPU! AAAaaaAaaaaaAAA KENA TIPUUUUUUUUUUUUUUUUUUUU BAAAAAAARANGGGGGGGGGGG PALLLLSUUUUUUUUU (you sing you lose).

Ditambah lagi skripsi gue barengan sama UI Islamic Bookfair. Parah ini sih sambil nyambi di meja operator panggung sambil revisian skripsi, tapi gue kaget. AAA KAGET! #yeungapagakjelaskampay
Gue kaget ternyata revisinya bisa beres woy padahal tangan gue sibuk banget ngurusin bocah-bocah IBF. Sadar aing kalau ternyata kapasitas kita bukan yang ada di kepala kita tapi apa-apa yang Allah ridhoi #duile. Selama Allah ridho maka semuanya akan menjadi mudah muehehehehe.

Eh adalagi yang gak kalah penting, rupanya berat badan gue naik parah. Dulu yang IMT gue kalau turun dua angka bisa dikategoriin kurang gizi, sekarang kalau IMT gue naik dua angka bisa dikategoriin obesitas wkwkwk. Ya untung kenaikannya masih di IMT normal sih. Tapi gue jadi agak sering olahraga soalnya kan postur gue yang membaik ini jadi kayak jelly kalau ditoel aja berasa toeng-toeng (lo ngerti gak sama kalimat ini? wkwkwk gue pusing gimana ngejelasin yang paling pas).

Btw, setelah pergolakan hidup gue selama 2017 dan peningkatan keilmuan gue soal kesehatan mental, Allah datengin ke gue orang-orang dengan berbagai masalah yang berat-berat. Ada yang depresi, self-harming, cerita keluarganya, amanahnya, sampe gak tau deh berapa orang yang curhat ke gue pengen bunuh diri (bener-bener sampe udah ada yang pernah nyiapin piso, ada yang udah bulak-balik naik atep tapi gak jadi, dll). Mereka tetiba aja gitu cerita... Di sini gue belajar bahwa tiap ilmu yang masuk ke kepala kita itu ada pertanggungjawabannya untuk diamalkan. Artinya membuat gue sadar dengan keputusan gue untuk lanjut S2 tahun depan (dan mungkin lanjut S3) bukan untuk sebuah kesombongan kalau punya gelar, tapi apakah amalan gue udah pantes buat mengimplemetasikan amanah ilmu setinggi itu?

Udah deh, itu tentang 2017 nya gue. Sekarang 2018 dan sepertinya kisahnya akan lebih asik dari tahun-tahun sebelumnya. I'm so excited!

Oh iya, guys. Selamat menjalani hidup yang sehidup-hidupnya di tahun ini!