Sebuah
Kisah Titik Balik Muhammad Imam Nawawi Syujai
PROLOG
Ada sebuah fabel menarik tentang singa. Fabel ini saya
dapatkan dari kisah-kisah kreatif yang saya baca. Tak perlu memutar pikiran
terlalu keras sebab cerpen ini cukup mudah dicerna. Semua cerita saya tulis
ulang karena saya lupa dari mana hasil bacanya. Mungkin ini akan menjadi gaya
lain dalam penceritaan titik balik hidup.
Di sebuah pedalaman hutan tropis terdapat seekor bayi
singa yang terlelap disamping tubuh induk singa yang telah mati ditembak oleh
seorang pemburu. Di balik semak-semak seekor kambing menyaksikan kejadian itu
dan merasa iba terhadap bayi singa. Setelah lama mempertimbangkan akhirnya induk
kambing memutuskan untuk mengadopsinya, dihidupkan bersama seekor anak
kandungnya.
Waktu lama berlalu, sang singa hidup layaknya kambing
hutan, lincah. Singa benar-benar hidup, makan, dan berkomunikasi layaknya
seekor kambing, bahkan ia mengembik layaknya kambing. Hingga pada suatu hari
kelompok kambing ini diserang oleh seorang serigala, semua kambing panik
termasuk anak singa. Serigala berhasil menangkap anak kandung induk kambing dan
siap menerkamnya. Kepanikan ini membuat induk kambing menyuruh singa untuk
menyerang balik dan menyelamatkan anak kandungnya, namun singa ketakutan
seperti kambing. Setelah suasana semakin mencengkam akhirnya singa memberanikan
diri untuk berlari ke arah serigala. Serigala melihat ada singa yang berlari ke
arahnya dan ia ketakutan, kakinya gentar agak mundur. Beberapa saat kemudian
yang terjadi adalah sebuah suasana awkward,
singa itu berlari sambil mengembik! Serigala telah merasakan ada yang janggal,
ia sudah tidak ketakutan dan memberikan aungan pada singa sehingga singa
ketakutan. Serigala mendapatkan anak kambing.
Kejadian ini menyebabkan singa dikeluarkan dari
gerombolan, ia sudah tidak dianggap bagian dari gerombolan kambing. Akhirnya
singa berjalan sendiri, membawa kesedihan. Suatu hari ada seekor singa dewasa
yang melihatnya sendirian, sehingga ia memutuskan untuk mendekatinya. Singa
melihat ada singa dewasa yang mendatanginya, ia ketakutan karena takut dimakan.
Ketakutan ini menyebabkan singa lari dan singa dewasa kebingungan akhirnya
terjadi kegiatan kejar-kejaran.
Beberapa
Minggu Kemudian
akhirnya
anak singa diasuh oleh singa dewasa dan akhirnya bisa menjadi singa yang
sesungguhnya.
Sebuah
Telaga
Jika diamati, banyak orang di hidup
ini yang tinggal di ‘kandang kambing’, semuanya merasa dirinya rendah, tidak
tahu potensi diri yang dimilikinya, dan terjebak dalam kesibukkan yang tidak
ada maknanya. Inilah saya dahulu, merasa hidup tidak begitu hidup. Berjalan dan
beperilaku sebagai ‘kambing’ di lingkungan yang sangat mendukung
ke-‘kambing’-an itu. Tidak ada yang menarik, karena sewaktu itu sulit untuk
mengaum, bahkan tahu cara mengaum yang benar pun tidak.
Hingga pada Maret tahun ini saya
berkesempatan mendatangi suatu telaga kehidupan, dikatakan telaga karena saya
merasa ini memang nyaman bagai telaga. Namun izinkan saya menggantinya
sementara. Hingga pada awal tahun ini saya berkesempatan mendatangi suatu
‘kandang singa’. Ya, benar. Rumah Kepemimpinan PPSDMS sudah bagaikan tempat
yang berisikan ‘singa-singa’ besar. Mereka semua, para peserta pembinaan SDM
strategis cukup menakutkan dengan segala kekuatannya masing-masing, menakutkan
dalam hal yang menakjubkan.
Sejak menjadi Peserta Antar Waktu
atau sederhananya peserta yang menggantikan, saya cukup kesulitan belajar
‘mengaum’, ditambah alumni dari program pembinaan ini telah mencapai ratusan
angkanya. Ini sebetulnya menjadi beban tersendiri, ah beban? Bukan, tantangan.
Pada dasarnya ketika saya memasuki asrama ini, cukup banyak kebiasaan yang
harus saya lakukan. Pertama, tidak ada ruang privasi karena ada 29 pasang mata
yang melihat tingkah asli kita, itu artinya lambat laut sifat buruk saya bisa
dilihat orang (hey guys, but i’m happy
about that, saya jadi bisa evaluasi diri saya menimialisasi keburukan itu).
Kedua, jadwal yang padat cukup membuat saya kebingungan mengganti jadwal harian
saya berkali-kali, bahkan kini dalam satu minggu saya bisa revisi jadwal tiga
kali. Ketiga, asrama ini ditempati 30 orang yang memiliki sejarah hidup yang
berbeda-beda, ini artinya mereka memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda.
Saya sampai bisa menemukan teman hidup (real
best friends, yes friend with s) dan sekaligus menemukan orang yang paling
mengesalkan yang pernah saya temui di hidup saya. Semuanya ada.
Politik dan pemikiran. Terhitung
sudah empat bulan saya dibina di asrama ini, banyak hal yang telah... emm.
Mengubah cara saya berpikir. Saya bukanlah orang normal yang terlihat normal,
maksud saya saya cukup aneh dalam berpikir dan berbicara, tapi mereka bisa
menerima itu, sungguh suatu harta berharga. Lalu ini menjadi suatu tantangan,
tinggal di sekitar orang dengan mental pemimpin membuat saya harus selalu
memutar otak saya untuk dapat menyampaikan apa pikiran saya dengan efektif,
karena kalau tidak semua hasil pemikiran saya akan patah begitu saja. Ini
adalah suatu sensasi luar biasa, saya jadi sering buka berita dan mempelajari
ilmu yang multidisiplin agar dapat berbincang dengan orang-orang di sini. Asik.
Kerohanian? Bagian ini akan sangat
menggelikan. Di asrama yang diisi dengan pembinaan berbasis Islam ini ternyata
mengandung segala macam pemikiran mengerikkan tentang agama di kepala
pesertanya. Saya pernah berbdebat dengan salah satu peserta tentang konsep
tuhan, dan itu terjadi di asrama ini. Semua itu terjadi untuk memperkuat
landasan keislaman sebetulnya. Sering suatu saat di kamar saya muncul ide-ide
dan celetukan-celetukan yang cenderung liberal (dalam arti perusakan agama) dan
kemudian di susul dengan istigfar salah satu peserta dan diikuti yang lain,
lucu, bagaimana semua keliberan ini dapat berakhir dengan satu istigfar saja,
betapa kental nuansa keislaman di sini. Pada akhirnya kita tidak membiarkan
pemikiran liberal itu, tapi tetap berpikiran terbuka. Rumah Kepemimpinan PPSDMS
membuat saya berusaha untuk selalu moderat dan terus menguatkan landasan agama.
Lanjut ke poin prestasi, jelas
tulisan “Tulis prestasi bulan ini ya” yang muncul di grup whatsapp kami tiap
bulan cukup mengintimidasi mental saya. Gila, bagaimana mungkin mereka dengan
kesibukan yang banyak bisa mengisi list
di grup itu tiap bulan? Atmosfir prestasi di sini cukup kuat dan membuat saya engap-engapan. Tapi tak apa, ini adalah
suatu tantangan lain agar saya bisa ‘mengaum’. Hingga perlahan setelah jadwal
saya sudah cukup rapi saya bisa menulist kolom itu meski sedikit demi sedikit.
Yang jelas saya harus akselerasi lebih cepat lagi.
Hingga akhirnya kekeluargaan di sini,
entahlah cukup unik program ini mengumpulkan 30 orang selama dua tahun. Meski
baru bergabung dan mereka telah bersama selalu satu tahun, saya sudah merasa
menjadi bagian dari mereka. Mereka (semua) begitu perhatian, inilah mungkin
kenapa kami tidak butuh perhatian pacar (karena memang sejatinya kami tidak mau
pacaran). Saya sangat puas dengan dinamika kekeluargaan di asrama. Bahkan
singa-singa jantan ini, yang biasa disebut Ksatria UI, harus bersama mengurusi urusan rumah tangga
seperti menyapu, mengepel, menyikat kamar mandi, mencuci, membangunkan, dan
segala macam kegiatan rumah tangga lainnya, ini semua dilaksanakan setiap hari.
Lalu perbedaan karakter mereka mengajarkan saya untuk terus ramah dalam situasi
apapun, untuk selalu perhatian, dan untuk selalu memberi. AH I LOVE YOU ALL
GUYS FROM MOON TO SUN.
Di antara semua kondisi yang ada,
kekhawatiran tetap menyelimuti saya. Apakah saya sebetulnya ‘singa’ yang baru
menemukan ‘kandang’-nya, atau sebetulnya memang sejatinya saya adalah ‘kambing’
yang kebetulan masuk kandang singa? Entahlah. Teh Enung, Manajer Regional kami
pernah mengatakan sesuatu kepada saya, Bang Rifqi, dan Bang Nuzul. Kami bertiga
adalah Peserta Antar Waktu yang masuk bersama-sama. Kata Teh Enung, “Mungkin
kami dari Eksekutif bisa salah atau keliru memilih kalian,” sebetulnya kalimat
itu cukup mengenai pusat hati saya, “tapi Allah telah menunjukan jalan untuk
kalian ada di sini,” Yaampun, peluru yang seakan tadi masuk ke pusat hati saya
seakan berubah menjadi gumpalan air yang menyejukan mengalir ke seluruh tubuh.
Ya, saya telah membulatkan tekad. Saya tidak peduli apakah saya ‘kambing’ atau
‘singa’, yang jelas di sini saya akan terus belajar ‘mengaum’, ‘mengaum’ dengan
sangat hingga akhirnya saya bisa membuat ‘singa’ lain, kambing, sapi, katak,
ikan, dan semua orang bisa ‘mengaum’ menyebarkan manfaat pada Indonesia yang
akan lebih baik dan bermartabat. Soon, really soon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar