Tiga hari ini tenggorokan saya sakit, semacam radang atau panas dalam. Alhamdulillahnya gak sampai membatasi mobilitas saya terlalu banyak. Al hasil saya masih bisa kerja dan pergi ke sana-sini, cuma tetap saya merasa semua hal ini (sakit ini) harus segera diselesaikan.
Biasanya jika sakit saya hanya akan tidur lebih banyak dari biasanya, makan lebih banyak dari biasanya, dan minum lebih banyak dari biasanya. Namun sakit ini agak beda, saya mau pulang. Saya mau manja di rumah.
Rencana mau pulang Sabtu untuk mengejar "kesembuhan" mental ini demi mengejar efek pada kesembuhan fisik rupanya harus tertunda sebab ku sudah ada tanggung jawab jadi panitia agenda pembinaan di Puncak sampai hari Minggu.
"Mi, Imam gak pulang ya minggu ini."
Sebuah chat yang rasanya jadi sangat biasa saya kirim pada ibu saya, ayah saya, dan adik saya. Chat itu saya kirim lagi Sabtu kemarin.
Namun ketika menjadi panitia, saya rupanya tidak benar-benar sembuh. Di Hari Minggu (hari ini) seusai amanah saya tadi, saya memutuskan untuk pulang tanpa mengabarkan orang rumah.
Hujan besar di jalan justru membuat saya jadi ingin cepat-cepat sampai, saya pusing, saya khawaitr terjatuh di jalan.
Jadi cerita yang berbeda saat saya sudah tiba di rumah,
rupanya Allah punya alasan mengapa sakit saya tidak menghalangi mobilitas saya. Allah mau saya pulang, lalu melihat sebuah kenyataan: Orang tua saya sedang sakit, keduanya. Saya masuk usai mengucapkan salam, lalu menyalami tangan keduanya, Umi yang masih membereskan piring ditemani suaranya yang habis, dan Bapak yang sedang tertidur di kamar belakang.
Kini hati saya tergores banyak hal, tidak nyaman. Keinginan saya ingin bermanja ria berubah jadi perasaan bersalah yang berat. Mengapa saya selama ini hanya peduli pada diri saya sendiri? menginginkan kedua orang tua saya memperhatikan saya, namun tak pernah mampu membalas dengan perhatian yang setara pada mereka.
Menjelang maghrib Umi berbaring di kasur, saya mencoba memberikan service berupa pijatan-pijatan lembut di kaki, lalu Umi tersenyum. Hal ini menghantarkan kami tenggelam dalam perbincangan kabar dan mimpi, walau lagi-lagi lebih banyak berfokus pada kabar dan mimpiku. Egois kamu mam, egois.
Seusainya saya memutuskan memotong buah-buahan untuk mudah Bapak santap saat bangun nanti, sambil menjadi sarana obrolan yang mengalir di ruang keluarga, Bapak habiskan buahnya satu piring.
Saya tidak bisa menahannya, saya harus masuk ke kamar dan menangis sebanjir-banjirnya. Hati saya terkoyak karena perasaan bersalah. Mengapa saya setidak peduli itu sampai tidak tahu kabar mereka? Sampai tidak menanyakan kabar mereka.
Maka sejatinya, saat kita berada pada jarak dekat dengan keduanya, akan terlihatlah raut penuh perjuangan dan harapan dalam membesarkan saya dan kedua saudari saya. Sedang saya masih saja tidak berjuang maksimal saat jauh dari mereka, dan tidak berusaha kuat untuk pulang demi memberi perhatian semaksimal yang saya bisa. Saya masih egois.
Allah, Ya Rabb, cintailah mereka seperti mereka mencintaiku. Buatlah aku menjadi amal mereka yang tiada berputus, Aamiin.
Biasanya jika sakit saya hanya akan tidur lebih banyak dari biasanya, makan lebih banyak dari biasanya, dan minum lebih banyak dari biasanya. Namun sakit ini agak beda, saya mau pulang. Saya mau manja di rumah.
Rencana mau pulang Sabtu untuk mengejar "kesembuhan" mental ini demi mengejar efek pada kesembuhan fisik rupanya harus tertunda sebab ku sudah ada tanggung jawab jadi panitia agenda pembinaan di Puncak sampai hari Minggu.
"Mi, Imam gak pulang ya minggu ini."
Sebuah chat yang rasanya jadi sangat biasa saya kirim pada ibu saya, ayah saya, dan adik saya. Chat itu saya kirim lagi Sabtu kemarin.
Namun ketika menjadi panitia, saya rupanya tidak benar-benar sembuh. Di Hari Minggu (hari ini) seusai amanah saya tadi, saya memutuskan untuk pulang tanpa mengabarkan orang rumah.
Hujan besar di jalan justru membuat saya jadi ingin cepat-cepat sampai, saya pusing, saya khawaitr terjatuh di jalan.
Jadi cerita yang berbeda saat saya sudah tiba di rumah,
rupanya Allah punya alasan mengapa sakit saya tidak menghalangi mobilitas saya. Allah mau saya pulang, lalu melihat sebuah kenyataan: Orang tua saya sedang sakit, keduanya. Saya masuk usai mengucapkan salam, lalu menyalami tangan keduanya, Umi yang masih membereskan piring ditemani suaranya yang habis, dan Bapak yang sedang tertidur di kamar belakang.
Kini hati saya tergores banyak hal, tidak nyaman. Keinginan saya ingin bermanja ria berubah jadi perasaan bersalah yang berat. Mengapa saya selama ini hanya peduli pada diri saya sendiri? menginginkan kedua orang tua saya memperhatikan saya, namun tak pernah mampu membalas dengan perhatian yang setara pada mereka.
Menjelang maghrib Umi berbaring di kasur, saya mencoba memberikan service berupa pijatan-pijatan lembut di kaki, lalu Umi tersenyum. Hal ini menghantarkan kami tenggelam dalam perbincangan kabar dan mimpi, walau lagi-lagi lebih banyak berfokus pada kabar dan mimpiku. Egois kamu mam, egois.
Seusainya saya memutuskan memotong buah-buahan untuk mudah Bapak santap saat bangun nanti, sambil menjadi sarana obrolan yang mengalir di ruang keluarga, Bapak habiskan buahnya satu piring.
Saya tidak bisa menahannya, saya harus masuk ke kamar dan menangis sebanjir-banjirnya. Hati saya terkoyak karena perasaan bersalah. Mengapa saya setidak peduli itu sampai tidak tahu kabar mereka? Sampai tidak menanyakan kabar mereka.
Maka sejatinya, saat kita berada pada jarak dekat dengan keduanya, akan terlihatlah raut penuh perjuangan dan harapan dalam membesarkan saya dan kedua saudari saya. Sedang saya masih saja tidak berjuang maksimal saat jauh dari mereka, dan tidak berusaha kuat untuk pulang demi memberi perhatian semaksimal yang saya bisa. Saya masih egois.
Allah, Ya Rabb, cintailah mereka seperti mereka mencintaiku. Buatlah aku menjadi amal mereka yang tiada berputus, Aamiin.