Kamis, 02 Maret 2017

Air Mata

Sejak dulu, bocah itu tidak pernah diminta untuk berhenti menangis oleh orangtuanya, ia dibebaskan untuk menghabiskan air matanya sendiri, hingga lelah untuk mengeluarkan kesedihan lagi.

Sejak dulu, anak SMA itu dibebaskan memilih hidupnya. Orangtuanya adalah guru ngaji dan tokoh agama di kampungnya, namun cukup demokratis untuk membiarkan anaknya memilih sendiri cabang-cabang perjalanan yang ditemui.

Sejak dulu, anak kampus itu akan menciptakan tawa pada kawan-kawannya, lalu mengunci kamarnya dan tenggelam dalam kesepian yang mencekam.

Dan hingga kini, ia masih mudah menangis. Dadanya sering sesak, matanya sering bengkak, oleh punggungnya yang merasa berat dengan titipan kepercayaan.

Hingga kini, ia selalu bebas memilih untuk berhenti atau terus berlari. Meski daging koyak di sana-sini. Logika memintanya berhenti sekarang juga, tapi raga lebih senang digerakan oleh hati yang memilih untuk bercinta dengan mental yang tenggelam dalam lelah dan asa.

Hingga kini, ia ingin selalu menumbuhkan harapan pada tiap orang, bahwa hidup tidak akan berhenti hanya karena kita tergelincir bebatuan kecil atau bahkan tertimpa gunung sebesar ibukota. Ia percaya, bahwa Tuhan menciptakan pelukan sebagai teman bagi mereka yang ikhlas mencinta.

dan bagi mereka yang cintanya di dengarkan dengan lantangnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar